top of page

Pikir-Pikir Pasca FGD di Kemdikbud RI


I have never let my schooling interfere with my education.” - Mark Twain


Pada tanggal 8 Maret 2016, The Narasastra Project diundang Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Republik Indonesia (RI) untuk menjadi partisipan dalam diskusi terpumpun (focus group discussion/FGD) bertemakan "Sinergi Gerakan Literasi". Saya pun diberi kesempatan untuk mewakili Narasastra dalam acara tersebut dan menyatakan beberapa pendapat terkait peluncuran berbagai gerakan literer, serta peningkatan minat dan budaya baca/tulis (literacy) masyarakat Indonesia. Dalam acara tersebut saya juga bertemu dengan Ibu Ratna, dosen sewaktu berkuliah di Program Studi Indonesia. Ia berada di sana sebagai wakil akademisi.


Memang akhirnya pendiri-pendiri komunitas-peduli-literer mengajukan beberapa regulasi terkait pengadaan taman bacaan di desa-desa dan juga kewajiban membaca buku selain buku pelajaran di sekolah. Namun demikian, sejujurnya, saya merasa belum ada hasil konkret yang didapatkan dari diskusi tersebut.


Sebetulnya tidak salah, akhirnya gerakan literer ini kembali lagi mengkritik sistem edukasi di Indonesia yang tidak membiasakan murid-muridnya membaca. Akan tetapi, saya pikir, apa pun yang ada embel-embel "wajib"-nya, nanti akan menjadi beban. Atau itu hanya perasaan saya saja?

Selain itu, anak muda (mungkin teenagers sampai mereka-mereka yang berumur 20-an), kurang dilibatkan dalam hasil diskusi; untuk kontribusi, maupun menjadi target peningkatan minat baca/tulis. Setelah saya melakukan diskusi di Kemdikbud, kebetulan saya bertemu Firman dan Geseit dari Gerakan UI Mengajar 5 yang sedang ingin menemui Bapak Anies Baswedan. Akhirnya kami berbincang-bincang sebentar. Betapa mengagumkannya minat anak muda untuk membangun bangsa dari pendidikan. Banyak usaha-usaha yang kami lakukan sendiri. Akan tetapi--mari mengaku saja--pendapat-pendapat kami kurang didengar. Ya, kan?


Begitulah, fokus target hanya tertuju kepada anak-anak kecil, sekitar SD, TK, dan PAUD. Nah, beberapa hari sebelumnya, saya baru saja membaca postingan blog yang mempertanyakan kewajiban belajar baca/tulis di PAUD/TK (dapat dibaca di sini: http://abdurakhman.com/paud-untuk-apa/). Setelah membaca tulisan tersebut, saya pun merasakan hal yang sama, rasanya negara ini terlalu buru-buru untuk mengajarkan anak-anak calistung (baca-tulis-hitung). Kemampuan utama yang seharusnya dipupuk, yakni budi pekerti, kebhinnekaan, dan sopan santun, menjadi tidak tersentuh. Akibatnya, ya, banyak yang narrow-minded di negara ini dan rakyatnya kurang berprikemanusiaan. Jangan tersinggung, lho.


Saya pikir, untuk meningkatkan minat baca/tulis ini, gerakannya harus dilakukan di luar sekolah. Dikembangkan dari hobi. Membuat baca/tulis menjadi keren, oke, asyik, kece, dan sebagainya. Hari ini sudah banyak sarana yang bisa digunakan untuk hal tersebut. Dan rasanya, untuk menargetkan generasi XY dan generasi visual, menambahkan aturan di sekolah jadi terkesan kolot. Akan tetapi ini hanya pendapat pribadi tanpa tambahan data, lho, ya, cuma dilihat dengan sepintas mata saja.


Pengadaan taman bacaan itu adalah usaha yang sangat baik menurut, saya. Memang masyarakat seharusnya dibiasakan untuk membaca buku terlebih dahulu. Sediakan buku di berbagai tempat dengan akses yang mudah. Untuk itu diperlukan pembuatan perpustakaan-perpustakaan kecil yang setidaknya dapat menumbuhkan minat itu. Daripada uangnya dipakai untuk membangun perpustakaan terbesar di Asia, tetapi tidak ada yang baca buku karena tidak ada yang berminat #PerpustakaanDPRMahal.


Yha, begitu lah. Jadi, sebetulnya tulisan ini juga tidak terlalu ada isinya. Tidak ada simpulannya. Hanya unek-unek yang mungkin bisa dipakai untuk bahan kita berpikir lebih lanjut. Siapa tahu, sehabis membaca tulisan ini, nanti ada yang ingin cari data-datanya. Mudah-mudahan bisa bantu berpikir juga nanti, ya.


Bersamaan dengan topik pendidikan, kesempatan ini juga ingin saya gunakan untuk menyampaikan hal berikut. Turut berduka atas kepergian Bapak J.S. Badudu. Seorang pengajar, pakar bahasa Indonesia, guru besar linguistik, dan pembawa acara Pembinaan Bahasa Indonesia (pernah ada di TVRI tahun 1974-1979) yang telah berkontribusi untuk pengembangan kamus-kamus bahasa Indonesia. Lebih lanjut tentang J.S. Badudu, dapat dilihat di https://id.wikipedia.org/wiki/Jusuf_Sjarif_Badudu.


Katanya, "Pengajaran bahasa Indonesia di sekolah seharusnya tidak 'gramatikasentris'." Yha, bahasa itu tentang makna. Bahasa itu bermakna. Lalu setel lagu Barasuara.

what do you think of this post?

bottom of page