(ESAI) "Teror"
Beberapa waktu yang lalu, sehari setelah Efek Rumah Kaca meledakkan konser Sinestesia, kelompok yang kita sebut sebagai teroris juga ikut meledakkan bom dan aksi terornya di jalan Sarinah. ‘Terorisme’ yang akar katanya adalah ‘teror’, pada dewasa ini sangat identik dengan bom. Dengan korban jiwa. Dengan darah merah. Teror, teror, dan teror. Apakah teror selalu dan melulu mengenai bom?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘teror’ berarti usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Bom dan korban adalah media, alat yang digunakan oleh kelompok pelaku aksi teror pada Januari lalu. Alhasil, tagar #KamiTidakTakut “merebak” di media sosial, semacam perlawanan dan tantangan, atau bahkan bentuk simpati bahwa aksi teror ini tidak akan menghambat aktivitas masyarakat.
Padahal, aksi teror sudah dilakukan sejak kita kecil dulu. Saat kita sedang asyik bermain di lapangan kosong. “Eh, ayo! Sudah magrib! Pulang! Nanti diculik setan!” Kira-kira seperti itu. Teror digunakan agar kita takut kemudian manut untuk segera pulang, mandi, dan mengerjakan tugas sekolah. Berikut menurut Galtung, dalam esainya “Cultural Violence” yang saya kutip dari Kekerasan Budaya Pasca 1965 karangan Wijaya Herlambang.
“Semua jenis represi dan eksploitasi yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap kelompok lainnya dikategorikan sebagai kekerasan struktural. Kekerasan struktural adalah kekerasan yang tidak mencelakai atau membunuh melalui senjata atau bom namun melalui struktur sosial yang menyebabkan kemiskinan, ketidakseimbangan ekonomi, atau ketidakadilan sosial dan politik.” (hal. 36)
Dalam hal ini, mari kita simpulkan bahwa teror dapat dikategorikan juga sebagai kekerasan struktural.
Teror kita temui lagi dalam lingkup akademis. Bullying atau istilah lainnya, tatar, masih terjadi di beberapa SMP dan SMA. Pemalakan, pemukulan, dan peniadaan hak-hak tertentu masih ada dalam dikotomi junior dan senior. Di dunia perkuliahan pun, saya masih menemukan sisa-sisa dan bau teror. Kali ini, dunia kampus yang penuh dengan buku berhasil memperhalusnya dengan sebutan “inisiasi”. Mahasiswa baru harus ini, harus itu, tidak boleh ini, tidak boleh itu. Bahkan, “inisiasi” dapat saya katakan sebagai teror yang paling laknat karena kemunafikan-kemunafikan yang terkandung di dalamnya dilakukan oleh akademisi, oleh orang-orang yang berpendidikan.
“Tenang aja, bro, lo gak bakal diapa-apain.”
“Slow, cuy, seneng-seneng ntar kita.”
Saya yakin beberapa dari mahasiswa sudah bisa menangkap kebohongan-kebohongan dari ajakan di atas.
Usaha menciptakan ketakutan dan kengerian tersebut banyak dilakukan oleh orang-orang yang lebih tua, senior, lebih berkuasa. Lebih lanjutnya, dapatkah hal ini berkesinambungan dengan feodalisme? Terorisme dan senioritas, apa bisa dikaitkan dengan feodalisme? Seperti yang dikatakan oleh Mochtar Lubis, “Ciri ketiga utama manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya.” Pangkat, kekuasaan, dan kedudukan adalah batu pijakan yang tangguh untuk melakukan aksi teror. Lebih parah lagi, feodalisme dalam kampus mungkin sudah membudaya. Sudah diketahui akar dan kekejamannya, tapi tidak satu pun yang berani mengubah dan menciptakan kebaruan. Menurut Galtung pula, hal ini termasuk dalam suatu kekerasan yang disebut sebagai kekerasan budaya.
“Menurut Galtung, hal ini karena kekerasan budaya adalah ‘sesuatu yang permanen’, artinya secara esensi, selalu akan bersifat sama untuk jangka waktu yang sangat lama, menciptakan sebuah transformasi lambat terhadap dasar sebuah kebudayaan yang menceramahi, mengajarkan, mengecam, mengarahkan dan mengaburkan kita untuk melihat eksploitasi dan represi menjadi hal yang lumrah dan alamiah atau untuk tidak melihatnya sama sekali.” (hal. 37-38)
Aksi bullying, tatar, dan "inisiasi" yang tidak sehat pun tetap dijalankan terus-menerus atas nama tradisi dan dendam. Kekerasan struktural dan budaya kerap terjadi dan melaju di dunia pendidikan selagi negara menggerebek perumahan di sana-sini. Ditambah lagi, akhir-akhir ini terjadi kekerasan struktural kepada sebuah komunitas yang terdiri dari manusia sama seperti kita. Manusia ciptaan Tuhan.
Semuanya, sedang sibuk melakukan aksi teror.