(CERPEN) "Pulang Tak Selamanya Menyenangkan"
Krisna Sanarta, a writer (soon to be).
______________________________________________________________________________________________
"Pulang Tak Selamanya Menyenangkan"
Aku malas jika Ibu mulai menelepon dan menyuruhku pulang dengan segera. Kereta penuh, lelah berjalan, sayang ongkos, dan takut keringatan adalah pendukungku untuk tak pulang. Lagipula, pulang tak harus terus menerus, bukan? Pulang mungkin cukup seminggu sekali, sebulan dua kali, setahun lima kali, sewindu tujuh kali, atau berapa pun. Apakah frekuensi bertemu mampu menghapus rindu? Aku rasa tidak.
Kamu boleh bilang aku anak durhaka. Kamu juga boleh bilang aku anak tak tahu disayang. Kamu boleh menyebutku dengan serentetan kata makian. Akan tetapi, tolong pikirkan lagi. Apakah setiap kepulangan membawa kebahagiaan? Tidak. Aku pernah dipanggil pulang karena Kakak kecelakaan dan kemudian meninggal. Aku juga pernah disuruh pulang karena Ibu takut dipukuli oleh penagih hutang. Aku juga pernah pulang hanya untuk melihat darah mengucur dari leher ayam yang baru dua hari aku beli dipinggir SD dekat rumah. Waktu itu, Ibu tak punya uang untuk membeli lauk makan, dan Kakak ingin makan ayam goreng.
Pulang hanya mengingatkanku pada perjuangan Ibu yang demikian beratnya. Aku benci ibuku dan semua kebodohannya. Ia wanita tak tamat sekolah dasar yang terjebak kepada cinta buta seorang penjudi. Berkali-kali ia rela dijadikan taruhan agar pria bajigan itu tak perlu dihajar karena kalah judi. Sering juga aku lihat sudut bibirnya membiru terkena pukulan botol bir murahan. Dan wanita bodoh yang sejak dua puluh lima tahun aku panggil Ibu tak pernah menangis atau mengeluh sakit.
Ibu memanggilku pulang lagi untuk kesekian kalinya. Aku tetap bergeming pada tempat dudukku dan berkata aku tak akan pulang sampai hari Minggu. Kuacuhkan lagi permintaan Ibu kali ini. Aku masih enggan untuk pulang, semoga ia mengerti, Senin dini hari, ada telepon yang mengusik lenguhan panjang seorang gadis yang duduk di pangkuanku. Aku terpaksa bangun karena telepon itu tak kunjung diam meski diacuhkan berkali-kali. “Gus, ibu meninggal.” Ibu, wanita bodoh yang maha pengertian memang luar biasa hebat. Ia mati di hari aku berkata akan pulang. Bahkan setelah mati pun, ia memaksa orang lain untuk memintaku pulang. Aku pulang hari ini dengan kereta pertama. Ini kepulanganku yang terakhir, selepas ini aku tak akan pulang lagi.