top of page

(ESAI) "Memory of the World"


Astrid Yuliandini, currently a full time student of Indonesian Studies

focusing on philology at University of Indonesia. Was born in Jakarta, July 16th twenty one years ago.

Former chief of musical poetry bureau under Ikatan Keluarga Sastra Indonesia (IKSI), Sasina.

Editor for Majalah GAUNG and also a freelance writer in various media.

Mostly sleeping in the spare time and always have a thing to dusty, smelly, and fragile paperwork.

____________________________________________________________________________

Berbicara sastra berarti berbicara tentang perkembangan zaman. Perkembangan peradaban manusia dapat tercermin dari karya-karya sastra yang tercipta. Menurut Mursal Esten (1978: 9) sastra atau kesusasteraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).


Kisah-kisah kesejarahan yang terdapat pada karya-karya sastra klasik memang tidak dapat dikatakan sebagai fakta-fakta sejarah yang absolut. Namun, tak dapat dipungkiri di dalamnya terdapat banyak bukti perkembangan peradaban, baik kebudayaan, kepercayaan, maupun cara berpikir manusianya pada saat itu yang menjadi tombak bagi peradaban masa kini. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa karya-karya sastra klasik harus terus dilindungi keberadaannya.


Memory of the World, sebuah program yang diprakarsai oleh UNESCO adalah salah satu sarana yang mempreservasi fakta-fakta peradaban manusia lampau. Salah satunya adalah berupa manuskrip. Data-data pendukung kesejarahan tersebut dikumpulkan dalam bentuk warisan budaya terdokumentasi (documentary heritage). Memory of the World atau yang bila

dialihbahasakan menjadi 'Kenangan Kolektif Dunia', merupakan sebuah kesempatan bagi keberlangsungan hidup warisan bersejarah serta warisan budaya dunia, khususnya khazanah sastra klasik.


Mengapa program ini dapat dikatakan sebagai sebuah kesempatan bagi keberlangsungan sastra klasik? Program Memory of the World memiliki tiga tujuan utama, yakni 1) untuk memfasilitasi preservasi warisan budaya terdokumentasi menggunakan ketentuan yang paling sesuai, termasuk menyediakan bantuan langsung berupa saran atau tenaga ahli, hingga mencarikan sponsor untuk proyek preservasi, 2) untuk memfasilitasi akses yang universal terhadap warisan budaya terdokumentasi, termasuk mempermudah akses dengan bentuk kopi digital dan katalog internet, maupun publikasi-publikasi yang berkaitan, tentu dengan menyesuaikan ketentuan hukum dan sensitivitas kebudayaan asal manuskrip, 3) menciptakan kesadaran yang lebih besar akan eksistensi dan pentingnya warisan budaya terdokumentasi.


Pada sidangnya tahun 1993, UNESCO menentukan visi Memory of the World sebagai warisan dokumenter milik segala kalangan, serta misinya untuk meningkatkan kesadaran dan perlindungan akan dokumentasi dunia. Terdapat 45 negara yang menjadi anggota Komite Program Memory of the World, Indonesia salah satunya. Komite Memory of the World Indonesia berada di bawah naungan LIPI dengan anggota yang merupakan pakar-pakar dari berbagai instansi.


Hingga saat ini terdapat lebih dari 10.000 naskah kuno dari seluruh aksara Indonesia yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Tiga di antaranya telah mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai Memory of the World. Tiga naskah tersebut adalah Babad Diponegoro, Nagarakertagama, dan I La Galigo.


Babad Diponegoro merupakan sebuah otobiografi yang ditulis dalam aksara pegon dengan bentuk macapat oleh Pangeran Diponegoro, yang hidup pada tahun 1785-1855, ketika diasingkan Belanda ke Manado, Sulawesi Utara pada tahun 1831. Berisi tentang catatan perjalanan dan perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah dan menyampaikan ajaran agama. Sementara itu, Nagarakertagama karangan Mpu Prapanca ditulis dalam bentuk kakawin beraksara Jawa kuna pada tahun 1365 dengan lontar sebagai media penulisannya. Nagarakertagama berisi kejayaan kerajaan Majapahit di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk.


Lain halnya dengan I La Galigo. Bila Babad Diponegoro dan Nagarakertagama berasal dari tanah Jawa, I La Galigo berasal dari tanah Sulawesi dan merupakan karya Bugis Kuno. I La Galigo diakui sebagai epos terpanjang di dunia, bahkan mengalahkan panjang epos Mahabhrata. Naskah ini ditulis pada abad ke-13 dalam bentuk sajak beraksara lontara kuno. I La Galigo berkisah tentang penciptaan peradaban Bugis. I La Galigo sendiri adalah nama seorang lelaki Bugis yang lahir dari ibu beretnis Tionghoa, I We Cudai, dan ayah beretnis Bugis, Sawerigading.


Masih terdapat lebih dari 10.000 naskah sastra klasik Indonesia yang menunggu untuk diakui sebagai Memory of the World. Pengakuan ini menjadi penting untuk menumbuhkan kesadaran bahwa terdapat banyak pembelajaran yang bisa kita dapatkan dari karya-karya sastra klasik, terlepas dari keuntungan bantuan preservasi yang juga lebih mudah diakses. Hal ini memenuhi pernyataan Horace mengenai sastra yang dikemukakan pada Ars Poetica, yakni “dulce et utile”,

sastra tidak hanya indah, tetapi juga berguna.



what do you think of this post?

bottom of page