(CERPEN) "Pisau"
Tak ada yang lebih menakutkan baginya; tatapan mata kelereng, yang membentak-bentak Rinai. Rinai yang tadinya tertawa renyah, tahu-tahu malih menggentar lalu menguncup sunyi. Siapa lagi yang dapat marah-marah kepada Rinai, jikalau bukan bapaknya. Ia yang sering mabuk di pengkolan depan, saat cengkerik malam sudah berkoar, datang tanpa uang ‘tuk makan, ternyata masih terampil menganyam waktu demi menyiksa anaknya. Terkadang Rinai dipukuli karena terlalu banyak tanya mengenai ibunya. Siapa ibuku, mengapa tak pernah ia ada di sini, tanyanya bertubi. Bahkan diludahi pun sudah galib baginya, hanya karena pada suatu malam yang ribut hujannya, Rinai menjumput sedikit saja cangkir teh bapaknya. Alah! Paling minuman tadi pagi yang tak kunjung habis ini, tidak akan lagi diminumnya, pikir Rinai. Cah cuh cih!
Entahlah ketika ia dipukul dan dipelonco, Rinai tidak mengerti, mabukkah Ia? Sadarkah bapaknya? Karena jika ia meringkuk kesakitan di kasur tempatnya tidur, bapak akan bertanya lalu membuatkan Rinai segelas teh panas. Ada saat-saat iblis tersebut mati--mungkin tertidur. Rinai kerap bertanya sendiri, ada apa dengan bapaknya ini? Apa akal sehatnya sudah cacat sebagian, hingga mengacaukan kesadaran di kala tertentu dan membesarkan kelupaan yang sementara? Siapakah bapakku ini? Tak pernah bekerja, tapi selalu punya uang untuk membaca buku-buku baru. Ah, selain itu, belakangan ia menaiki sepeda. Lalu memasak sayur, seraya berangan menerbangkanku belajar di negeri Cina. “Cina? Ada apa di sana?” Yang didapatnya malah kepal jawaban dan lebam biru di pinggang. Rinai menangis tanpa suara di lantai, mengaduh kesakitan amat dahsyat. “Ingat, taruh di keningmu, Cina,” biru di tubuh Rinai berubah lugu. Rinai bangun dari tempatnya, kemudian tertawa. Sambil menguras pipi sembabnya, ia tertawa lagi, sejenak memandang keluar jendela yang langitnya kehilangan warna, lalu berjalan ke kamar. Ia benar-benar belum paham.
★★
Sampai saat ini Rinai belum pernah mengadu kepada apapun, kecuali aku. Aku melahirkan Rinai belasan tahun silam, dan masih sering hatiku berkeinginan kuat untuk memasukkan bajingan ini ke penjara. Kuatkah alasanku telah meninggalkan Rinai di palung neraka? Tetapi Rinai selalu melarangku untuk melakukannya.
“Bagaimanapun, Bu, ialah cintamu, yang belum kauceraikan.”
Anakku, anakku disiksa oleh cinta yang belum aku sudahkan dengan saksi-saksi. Boleh jadi ia disiksa karena Jawi kesepian dan menyayangkan kepergianku.
“Apa, Bu? Mengapa Ibu pergi meninggalkan rumah?”
“Karena kami berbeda pendapat.”
“Segitu bedanya sampai kau harus pergi, senyap-senyap, tanpa perjanjian yang pasti?”
“Bapakmu menginginkan kau lahir.”
“Lantas? Kau?”
“Maafkan..”
Semenjak saat itu Rinai hanya mengirimkan sepucuk surat kepadaku, tidak lebih. Ia bilang, sebilah pisau, berada di genggamannya.
★★
Ditangkapnya satu malam larut, hampir dini hari, bapaknya membaca buku yang tebal sekali. Remang ruangan tengah, kemuning di sekitar meja seperti oase bagi mereka yang menolak tidur. Memaksa setiapnya, tekun membuka lembar demi lembar. Rinai memicingkan mata untuk melihat judulnya, namun cahaya tidak mengabulkan. Perutnya mual, serta kepalanya jadi pusing.
“Apa yang kauintip?”
Lagi, tatapan itu. Mata itu. Yang sungguh dapat melenyapkan tawa dari komedi macam apa saja. Rinai yakin tatapan seperti ini hanya ada jika roh jahat menuntut pembalasan dalam diri seseorang. Yang muncul sesaat, sebab dendam itu juga lahir dari momen-momen atau kenangan yang tak menentu waktunya. Tiba-tiba menyerang. Tiba-tiba haus darah.
“Tak. Tidak ada,” Rinai gemetar, menyembunyikan pisaunya.
Bapaknya tersenyum hangat, sampai membuatnya heran, “Kemarilah, Nai.”
Dengan agak ragu, ia melangkah perlahan. Jawi bergeser memberi celah duduk. Kemudian membuka buku yang dibacanya. Rinai tersentak dari tempatnya, memandang takjub ke arah bapaknya.
“Ssst,” bisik Jawi dengan telunjuk membusungi tepi bibir.
“Kita sedang diintai,” lirihnya.
“Jadi, selama ini....,” Rinai tak mampu melanjutkan.
Jawi tersenyum dan mengangguk mantap.
“Ibumu itu orang sakit!”
Rinai masih tak percaya, dengan berita bergambar yang ada di buku itu. Apa aku salah lihat. Ah, tak mungkin! Kumis tiris di atas bibir tipis tersebut mutlak milik ibu. Ah, tapi, ibu! Tak mungkinlah!
“Esok, aku akan bunuh wanita jalang itu, kau juga harus ikut!”
Siapa yang gila, pikirnya. Ibunya? Betulkah? Atau malah orang di hadapannya ini, yang begitu kabur segala seluk-beluknya. Atau jangan-jangan, dirinya sendiri yang gila! Pisau yang tadi digenggamnya mendadak tumpul. Bukan, bukan. Nyali pemegang pisau itu yang membuatnya tumpul, yang tak berdaya dan tak percaya akan ketajamannya sendiri.
“Jangan kau khawatir, semua sudah pada tempatnya. Lusa, kita berangkat menuju Cina,” bujuk Jawi seraya mengambil pisau di tangan Rinai dengan rapih dan pasti. Ia kembali berkekuatan. Mendadak seolah jadi mata yang paling tajam di dalam ruangan itu.
★★
Pagi-pagi sekali, Rinai sudah siuman dari tidur. Di dapur masih terdengar, semalaman Jawi mengasah pisau tak henti-henti, dari serangga malam sampai muazin bernyanyi. Tentang siapa yang akan mati, belum dapat diperkirakan. Aku, Jawi, atau Rinai sendiri. Tetapi, tetap harus ada yang dipersembahkan sebagai bukti kebenaran. Semua orang tau, apalah arti mata pisau jika tak pernah ia mengilatkan anyarnya merah darah.
9 Oktober 2014