(CERPEN) "Ibu Tua di Pasar"
- Acoy
- May 6, 2016
- 6 min read

Acoy. Baru belajar menulis lantaran membaca karya Armijn Pane dan Dostoevsky.
Saat ini masih berusaha lulus dari jurusan Sastra Indonesia Universitas Diponegoro.
________________________________________________________________________
Ibu Tua di Pasar
Konsep alienasi atau keterasingan yang lahir dari pemikiran Karl Marx muncul akibat adanya kapitalisme yang mengguncang Eropa pasca revolusi industri. Teori Alienasi Marx didasarkan pada pengamatannya bahwa di dalam produksi industri yang muncul di bawah kapitalisme, para buruh tak terhindarkan untuk kehilangan kontrol atas hidup mereka karena tidak lagi memiliki kontrol atas pekerjaan mereka. Para pekerja ini tak pernah menjadi otonom, yakni manusia yang mencoba untuk mandiri mengembangkan diri selalu terkotakkan oleh kaum borjuis. Mereka akan merasa terasingi oleh ruang lingkup sosial bahkan dirinya sendiri
★★
"Aku seperti di dalam gua yang gelap yang hanya berteman lampu remang seperti ayam-ayam negeri," pikir Harto . Dia adalah seorang idealis yang mulai diganggu oleh pertanyaan duniawi. Tentang siapa dia sebenarnya, apa yang harus dilakukannya, dan untuk apa dia hidup. Keseharian Harto lain dengan kesahariannya di masa lalu.
Dulu dia adalah seseorang yang hiperaktif, provokatif, ambisius, dan seperti orang yang kelaparan dengan apa pun. Di balut matanya seperti ada bintang dan bulan yang selalu bersinar. Mulut Harto dahulu belum benar-benar terkunci seperti bisu. Badannya cukup gemuk, senyuman selalu menggantung di wajahnya. Setiap malam dia selalu berjalan di bawah bulan menuju angkringan di belakang kediamannya. Harto senang sekali bercengkrama dengan Karjo dan Baron, kawan dari Jogja, saudara seperantauannya di Bandung. Saban hari, saban malam, mereka selalu bercumbu suara. Membunyikan dan melagukan apapun.
“Harto ke mana, Ron?” Tanya Karjo sambil menyilakan kakinya di lesehan angkringan tempat mereka biasa berkumpul. “Sudah hampir 6 bulan Harto tak nampak keberadaannya, kau tahu dia ke mana?” Sambung Karjo sembari menyalakan rokok.
“Kau masih saja mencarinya? Seseorang yang menghilang melupakan temannya itu? Kita?”
“Jo, biarkan dia menghilang, bocah keras kepala itu sudah menerima akibatnya. Mimpinya terlalu besar, keinginannya juga hanya dia yang tahu. Otaknya sudah absurd akibat ekspektasinya yang tak bisa diredam. Dia sudah terlalu tinggi naik pohon, Jo. Ketika kita candakan sedikit saja dia jatuh. Saking sudah tinggi naik pohon, ketika jatuh pasti sakit,” timpal Baron sedikit keras menanggapi. Karjo tersenyum melihat tanggapan Baron akan pertanyaannya.
“Ron, aku tahu kau begitu kesal dengan Harto, dengan pemikirannya yang bertentangan dengan pemikiranmu, tapi tolong Ron, bijaklah dalam menanggapinya. Jangan kau malah langsung menyiramnya dengan kopi.”
“Ingat, Ron, bagaimana pun tujuan kita sama, membangkitkan semangat baca kepada masyarakat luas. Hanya saja pemikiran kalian sedikit berbeda. Kau mau langsung terjun ke anak-anak, sedang Harto ingin yang tidak biasa.” Kata karjo berusaha meyakinkian Baron yang sedang kepanasan karena mendengar nama temanya yang satu.
“Bagiamana tidak kesal. Dia sudah gila, Jo. Mana mungkin menanamkan minat baca dengan cara datang setiap hari ke pasar? Membawa buku masakan dan membacakan isi buku itu kepada ibu-ibu yang tidak bisa membaca? Aku yakin itu percuma, belum sebulan pasti kita akan lelah menanggapi orang tua yang tidak bisa baca.” Baron kembali kesal menaggapi.
★★
Di lain waktu, Harto selalu bangun pagi. Menurutnya pasar sudah mulai ramai pukul 05.00 subuh. Dia giat bangun pukul 01.00 untuk pergi ke pasar. Harto memilah buku-buku yang cocok untuk orang-orang di pasar, buku tentang masak-memasak atau resep. Dipilahnya buku-buku itu sebelum dimasukannya ke dalam ransel hitam yang kumuh kepunyaanya.
Sesampainya di pasar, Harto mencari tempat untuk menggelar buku-bukunya. Ditatanya dengan rapi sesuai isi. Selain buku masak-memasak atau resep, Harto juga membawa buku jenis laindan majalah anak-anak. Dia beranggapan bahwa pasti ada anak yang ikut ibunya belanja ke pasar.
Sudah lumayan lama Harto menunggu. Bukunya masih saja rapi tertata. Tidak ada satu pun yang singgah atau penasaran dengan apa yang dilakukan Harto yang membawa banyak buku di Pasar. Mungkin, dalam pikiran orang-orang, Harto adalah penjual buku asongan yang mangkal di sudut pasar. Sampai suatu hari, ada seorang lansia yang menghampirinya, entah latar belakangnya apa, kasihan atau memang inisiatifnya sendiri.
“Nak, kamu nampak kurus sekali. Lesu, kotor. Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu memiliki keluarga? Ini apa? Kamu penjual buku?” Tiba-tiba lansia itu bertanya kepada Harto dengan beberapa pertanyaan yang cukup membuatnya kaget.
“Eh, bukan, Bu. Saya Harto, di sini saya hanya ingin mengenalkan orang-orang di pasar tentang berbagai macam makanan dan cara pembuatannya, lewat buku ini,” kata Harto sambil menunjuk buku-bukunya yang masih saja rapi tertata.
“Mungkin dari buku ini, Ibu juga dapat membuat makanan resep baru yang tidak pernah ibu masak untuk keluarga.” Sambung Harto
“Wah, Nak. Ibu sangat senang bertemu denganmu. Tapi Nak, ibu tidak bisa baca. Di rumah, ibu pun hanya bisa masak satu jenis makanan; tempe goreng. Akan tetapi bukan berarti ibu tidak mau membuat selain itu. Karena tadi, Nak, ibu tidak dapat membaca.” Kata ibu tua dengan wajah sedikit murung.
“Mohon maaf, ibu memiliki suami dan anak?” tanya Harto penasaran sehabis mendengar ucapan ibu tua tersebut.
“Suamiku sudah lama mati. Kata dokter, tubuhnya kekurangan gizi. Padahal, Nak, kami adalah orang yang mampu dalam ekonomi. Setiap harinya kami makan empat kali, walaupun hanya dengan tempe goreng,” ibu tua itu menjawab pertanyaan Harto.
“Ke mana anak-anak Ibu? Kenapa hanya ibu yang memasak di rumah? Apa mereka tidak bisa memasak? Atau mereka semua laki-laki?” Harto kembali bertanya lebih dalam tentang keluarga lansia itu.
“Aku hanya memiliki satu anak perempuan. Sejak dulu, aku selalu menyayanginya. Saking sayangnya, aku tidak mau dia bersentuhan dengan dapur yang notabene adalah ruangan kotor. Bukan karena aku tidak ingin mengenalkan. Akan tetapi karena tadi, Nak, aku tidak ingin dia kotor dan kulitnya memiliki bekas luka bakar seperti aku,” kata ibu tua dengan nada yang tersalip seperti kebingungan.
“Sekarang Mirna sudah tumbuh dewasa. Bahkan dia sudah memberikanku cucu dari rahimnya. Mirna tumbuh menjadi wanita karier. Aku sangat bangga dengannya. Sebelum aku bangun untuk menyiapkan tempe goreng, Mirna sudah berangkat. Sesudah aku tertidur, dia baru pulang. Katanya dia tidak ingin merepotkanku, Nak. Aku bangga dengannya,” sambung ia dengan senyum tulus. Harto seperti teringat dengan senyum lekung ibunya di Jogja. Ketulusan ibu tua tadi mengundang mendung di langit pasar tempat mereka berbicara. Teduh.
Lain penampakan, lain di hati. Nampak terlihat sumringah senyum Harto di mata orang-orang pasar yang melihatnya ketika sedang bercengkrama dengan Nursih, ibu tua yang dua minggu setelah pertemuannya baru diketahui namanya oleh Harto. Namun di hati Harto tak senyaman demikian. Bagi Harto seorang Nursih masih belum dapat diukur sebagai keberhasilannya dalam menaburkan minat baca. Gundah lah hati Harto. Letih karena hanya satu orang saja yang datang ke tempatnya saban pagi. Dia teringat lagi perkataan Karjo tentang kesia-siaan. Pulanglah ia dari perantauan ke kampung halaman. Merapat lah ia ke sia-sian tersebut. Di depan hidupnya hanya ada gambaran seorang pecundang yang gemar bermimpi.
★★
Pagi itu keseharian Nursih masih seperti biasa. “ Ash shalaatu khoirum minan naum,” terdengar kalimat at-tatswib dari masjid sebelah rumahnya. Mata Nursih selalu terbuka ketika mendengar kalimat tersebut. Sebelum beranjak untuk menunaikan salat, wanita tua itu selalu menengok ke kamar cucu, anak perempuan, dan menantunya. Ternyata seperti biasa, yang dilihat hanya seorang anak kecil tanpa dosa. Tempat tidur ibu, bapak, dan anak kecil itu sudah rapi tanda mereka sudah berangkat ke kantor masing-masing. Wajah Nursih kosong. Sedih karena berarti anak dan menantunya tak sarapan di rumah lagi.
Nursih mempersiapkan dirinya ke pasar. Menjemput senyumnya yang baru-baru ini hadir di sudut jalan pasar tempat ia biasa membeli bahan masakan yang sia-sia. Sesampainya di pasar, ketika matanya mengarah ke ujung jalan tempat biasa, Harto mendongenginya. Kosong lagi mata Nursih, senyum Harto tak nampak seperti biasanya. Buku-bukunya juga tidak ada. Esok hari, esok harinya lagi, esok harinya lagi sampai hitungan bulan tempat itu semakin kosong. Nursih sedih tak keruan. Ibarat hujan, dia kehilangan payung yang pernah dengan senantiasa melindunginya dari deras air langit.
Sejak saat itu Nursih tak pernah ke pasar lagi. Kesehariannya hanya duduk menunggu ajal di kursi goyang di pelataran sambil menatap satu buku pemberian Harto. Terus, terus-terusan dia seperti itu, menatap buku walau tak dapat membaca. Sering air matanya jatuh, membuat basah kertas-kertas dalam buku yang ia genggam. Melihat ketidakwajaran Nursih, anak perempuannya mulai tergugah untuk menanyakan keadaan Nursih. Baru kali itu, setelah sejak lama. Akhirnya anak perempuannya terlihat dekat dengannya.
“Bu, Ibu kenapa? Kenapa setelah bulan itu Ibu terlihat sedih, bisu, tak berbicara?”
“Senyum Ibu hilang. Apa selama ini aku menyakiti Ibu? Ibu kenapa?” Tanya anak perempuannya sambil mengusap dua pipi kerut wajah Nursih.
Nursih menangis, kini air matanya mengucur deras. Sentuhan-sentuhan lembut tangan anak perempuannya yang ia rindukanlah yang membuat air matanya seperti itu.
“Sebulan yang lalu ketika aku merindukan sentuhan tanganmu, aku bertemu dengan seorang pemuda di pasar. Dia mengobati rinduku kepadamu, Mirna. Tapi sekarang aku tak pernah melihatnya lagi. Ini buku pemberiannya sebelum dia menghilang. Buku resep makanan karena dia tahu betapa inginnya aku memasak makanan selain yang setiap hari aku masak. Walaupun tak dapat membaca, aku ingin bisa memasak makanan baru agar aku dapat duduk bersama anak, menantu, dan cucuku di meja makan. Tak pernah letih dia mendongengiku tentang beberapa resep makanan baru ini. Ini Mirna,” jelas Nursi kepada anak perempuannya sambil memberitahukan buku yang setiap hari ia genggam.
Lemas tubuh Mirna ketika mendengar jawaban Nursih. Air mata Mirna kini yang turun. Deras bagai hujan dihiasi guntur yang geletar.
★★
Sudah hampir setahun lebih. Mungkin Nursih sudah tenang di dalam kuburnya. Sebelum kematiannya, ada pesan yang selalu menghantui Mirna, “ Mir, ajari anakmu membaca. Biarlah dia pintar membaca. Tidak sepertiku. Seumur hidupku aku menyesal sekali karena tidak dapat membaca,” pesan Nursi kepada Mirna.
Sejak meninggalnya ibunda, setiap hari Mirna selalu mendongengi anaknya tersebut. Berharap anaknya dapat membaca dengan baik. Sementara Harto hilang tak tahu kemana. Baron hanya menjadi pengejar materi dan jabatan di dunia barunya.
Semarang, 2016