top of page

MARS, Sebuah Film untuk Pendidikan


“Lokasi lahir bisa di mana saja, lokasi mimpi harus di langit.”

−Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia−


Pada hari Senin, 2 Mei 2016 saya diberi kesempatan untuk mewakili The Narasastra Project dalam Gala Premiere MARS: Mimpi Ananda Raih Semesta. Banyak sekali tamu undangan yang hadir untuk mengapresiasi film garapan Sahrul Gibran ini. Film MARS juga mendapat banyak dukungan; ada BNI, Kemendikbud, Kemenpora, dan tentunya Multi Buana Kreasindo. Ketika sampai di Plaza Senayan XXI, saya dapat melihat bahwa film ini memang dibuat untuk sesuatu yang besar oleh orang-orang berjiwa besar.


Berita-berita mengenai film ini sudah saya ikuti selama kurang-lebih satu bulan. Para penggemar Kinaryosih, Acha Septriasa, dan Teuku Rifnu Wikana pun sudah digembar-gemborkan dengan berita akan hadirnya sebuah film bertema pendidikan dan keluarga ini. Kinaryosih berperan sebagai Tupon, seorang ibu yang dengan segala keterbatasannya berharap sang anak semata wayang dapat mencapai “Lintang Lantip”, planet Mars. Ia percaya bahwa Sekar Palupi (Chelsea Riansy), anaknya, dapat meraih Lintang Lantip hanya jika bersekolah. Wanita dari Gunung Kidul, Yogyakarta ini rela mengayuh sepeda belasan kilometer demi mengantar anaknya ke sekolah. Berbagai rintangan dan cobaan harus dia tabahkan dalam hati, bahkan kedukaannya ketika ditinggal sang suami (Teuku Rifnu Wikana) ke dunia baka harus ia abaikan. Ia pun harus terima ditertawakan oleh orang-orang ketika menolak lamaran seorang pengusaha kaya karena lebih memilih mendukung anandanya berkuliah. Akhirnya, berkat doa dan perjuangan Ibu Tupon, Sekar Palupi dewasa (Acha Septriasa) pun berhasil bersinar dan meraih gelar magisternya di University of Oxford.


Selain tokoh-tokoh di atas, sebenarnya, masih banyak lagi tokoh yang muncul dalam film ini. Aktor-aktor yang memerankannya pun tidak kalah terkenal, ada Cholidi Asadil Alam, Jajang C. Noer, Yati Surachman, Fuad Idris, dan Ence Bagus. Sayangnya, lagi, mereka seakan-akan bukan tokoh penting di film ini. Padahal, menurut saya, banyak sekali bagian-bagian cerita yang kosong atau hilang yang mungkin seharusnya diisi oleh mereka. Contohnya, di awal film ditampilkan Sekar dan temannya yang mengendap-endap di belakang para warga yang sedang melakukan penyembahan terhadap sebuah pohon keramat. Kemudian muncul seorang berpeci dan berbaju koko yang kemudian diketahui sebagai Ustaz Ngari ikut mengendap-endap di belakang mereka. Tentu, sang ustaz berjalan sembari mengatakan, “Astagfirullah”. Saya pikir akan ada adegan pertentangan keyakikan di film ini. Ternyata, saya harus rela melewatkannya. Akan tetapi, saya kembali dibibuat bingung ketika credit scene dalam bagian perkenalan aktor, terdapat adegan demo warga terhadap sang ustaz. Menurut saya, satu bagian ini saja sudah sangat menganggu.


Banyak adegan lainnya yang hilang sehingga membuat cerita terkesan tidak masuk akal. Tiba-tiba bertemu dengan seorang ahli, tiba-tiba berkuliah di Inggris, tiba-tiba sang ustaz pergi. Semua ketiba-tibaan itu sangat tidak masuk akal dan akhirnya tidak berhasil menimbulkan kesan yang baik. Kisah perjuangan Ibu Tupon dan Sekar Palupi pun menjadi kurang dapat dihayati. Sayang sekali, hanya beberapa adegan yang menurut saya berhasil membuat penonton ikut merasakan kesesakkan atau kebahagiaan tokoh-tokohnya.


Walaupun saya kecewa dengan kekurangan yang ada, saya rasa film ini tetap patut diapresiasi. Setidaknya, mereka sudah mencoba untuk mengapresiasi tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional. Kabar yang saya dapatkan, mereka juga harus mempertaruhkan milyaran rupiah untuk mengambil gambar di perpustakaan University of Oxford, lho. Kinaryosih pun harus bersikeras mengabaikan cidera (otot kaki kanannya putus) ketika berperan menjadi Tupon. Lagipula, kita, Indonesia, masih belum selesai dengan pendidikan. Masih banyak masalah dan kendala yang harus kita hadapi, entah terkait akses, biaya, ataupun kurikulum yang paling tepat untuk anak-anak Indonesia. Selain itu, film ini juga dekat dengan kehidupan pribadi kita; pendidikan, keluarga, perjuangan. saya pun jadi berpikir, tanpa saya sadari saya dapat bersekolah dari TK hingga berkuliah di tempat terbaik salah satunya karena perjuangan orangtua. Saya sering menyepelekan hal-hal seperti itu. Though, parents are heroes to their children. Basically, everyone who fought this life is a hero with their own stories.


In fact, seseorang sehebat CEO Multi Buana Kreasindo juga dapat merasakan hubungan antara hidupnya dan film ini. Dalam sebuah klip pembuka, beliau bercerita bahwa kisah Ibu Tupon dan Sekar mirip dengan kisah hidup keluarganya. Keluarganya bukan keluarga yang berkecukupan. Beliau menyebut ibunya dengan sebutan Mama. Mamanya harus berjuang sendirian untuk keberlangsungan hidupnya serta anak-anaknya. Akan tetapi, hidup tidak dapat mengalahkannya. Berkat perjuangan Mama, beliau dan saudara-saudaranya berhasil menjadi orang-orang berpendidikan tinggi dan menjadi kebanggaan Mama. Beliau sempat menitipkan pesan untuk pemuda Indonesia, “Jangan takut bermimpi. Bermimpilah seluas semesta.” Ya, jika seorang ibu, perempuan yang sering kita anggap lemah dapat menjadi kuat dan berani menantang hidup… mengapa kita para pemuda yang merasa lebih kuat tidak berani menantang bumi, langit, bahkan galaksi lainnya? Selamat Hari Pendidikan Nasional, Indonesia!


Film MARS: Mimpi Ananda Raih Semesta dapat kalian saksikan di bioskop-bioskop Indonesia mulai tanggal 4 Mei 2016.


what do you think of this post?

bottom of page