Kuliah Santai dari SDD dan Jokpin
Kontributor foto: Yudhistira, Agung M. Fatwa
A Rare Conversation Sapardi X Jokpin yang dibuka oleh Duo Ari-Reda dapat dibilang seperti kuliah santai bagi para penonton malam itu. Dua penyair yang jenaka dan suka ngguyon ini menceritakan berbagai hal menarik yang mempengaruhi kepenyairan mereka. Cerita tentang proses penciptaan “Aku Ingin” yang ditulis oleh Sapardi dalam hitungan menit dan Joko Pinurbo yang sulit menemukan celana dengan ukuran pas untuk pinggangnya cukup membuat suasana di Teater Kecil menjadi intim dan sarat tawa. Akan tetapi, pada tulisan ini saya akan meringkas cerita dari mereka menjadi beberapa poin saja.
Buku Favorit
Penyair mana yang tidak tau Sapardi Djoko Damono? Bahkan, Joko Pinurbo merasa jalan kepenyairannya terbuka ketika ia membaca DukaMu Abadi yang ia “ambil” dari sebuah rak buku. Seorang penyair, “Mas Penyair”, memiliki tiga buah buku Sapardi dengan judul yang sama, DukaMu Abadi. “Pak Sapardi jangan campur tangan,” canda Jokpin ketika ia ingin melakukan tafsir singkat terhadap puisi “Prologue”. Menurut Jokpin, DukaMu Abadi adalah puisi-puisi bernuansa duka dan muram yang ditulis oleh Sapardi. Dengan bersumber pada Albert Camus, Sapardi mengatakan bahwa DukaMu Abadi ditulis pada saat ia berumur 26-27 tahun , usia ketika seseorang takut merasakan kematian. Tragedi 1965, menurut Jokpin, tercium dalam puisi-puisi DukaMu Abadi.
Sementara itu, buku favorit Sapardi Djoko adalah Murder in the Cathedral karangan T.S. Eliot. Buku yang menjadi sumber skripsinya itu kemudian ia terjemahkan dan dapat dicari di toko-toko buku terdekat. Selain T.S. Eliot, Sapardi juga mengatakan buku favorit lainnya, yakni Ballada Orang-orang Tercinta-nya Rendra.
Baca Puisi
Najwa Shihab yang menjadi host pada malam itu berhasil meminta Sapardi dan Jokpin untuk membaca puisi di atas panggung Teater Kecil. Sapardi dengan “Tentang Mahasiswa yang Mati” dan Joko Pinurbo dengan “Kamus Kecil” menciptakan tepuk tangan penonton yang riuh. Berikut saya kutip beberapa larik dari kedua puisi tersebut.
"Tentang Mahasiswa yang Mati"
Dan tiba-tiba saja, begitu saja, hari itu dia mati;
Begitu berita yang ada di Koran pagi ini –
Entah kenapa aku mencintainya
Karena itu. Aneh, Koran ternyata bisa juga
Membuat hubungan antara yang hidup
Dan yang mati, yang tak saling mengenal.
"Kamus Kecil"
Bahwa ingin berawal dari angan;
Bahwa Ibu tak pernah kehilangan iba;
Bahwa segala yang baik akan berbiak;
Bahwa orang ramah tidak mudah marah;
Bahwa seorang bintang harus tahan banting;
Bahwa terlampau paham bisa berakibat hampa;
Bahwa orang lebih takut hantu ketimbang kepada Tuhan;
Bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira, sedangkan pemulung tidak pernah merasa gembala; Bahwa manusia belajar cinta dari monyet;
Bahwa orang putus asa sering memanggil asu;
Media Sosial dan Penyair Muda
Hal unik lainnya dari dua penyair kondang ini adalah kesempatannya untuk bermain twitter. Bahkan, Joko Pinurbo berhasil menerbitkan buku puisi dari kumpulan tweet-nya. Setelah menerbitkan cuitannya, Jokpin berhenti bermain Twitter dengan alasan, “Cita-cita saya sudah tercapai.” Sementara Sapardi-–yang suka jalan-jalan di Pondok Indah Mall—mengaku sudah jarang bermain twitter.
Mengenai penyair muda, Jokpin menyebut beberapa nama yang puisi-puisinya ia anggap bagus. Aan Mansyur, Beni Satryo, dan Mario F. Lawi, menurutnya adalah penyair-penyair muda yang membawa kebaruan bagi pembaca Indonesia. Meskipun tidak menyebutkan nama, Sapardi Djoko mendukung pendapat Jokpin dengan menambahkan, “Anak-anak muda sekarang ini cerdas-cerdas,”. Adanya jarak estetika (kondisi penyair yang tidak emosional atau menggebu-gebu saat menulis puisi) dan bahasa yang baru menjadi modal bagi para penyair muda untuk menyegarkan perpuisian Indonesia.
Kelas ditutup dengan alunan merdu Duo Ari-Reda yang menyanyikan puisi-puisi Sapardi Djoko Damono.