ASEAN Literary Festival 2016, Menolak Takut
ASEAN Literary Festival 2016 dibuka dengan kuliah umum dari José Ramos-Horta. Rasanya tepat sekali, sang peraih Nobel Perdamaian tersebut membagi pengalaman tentang usaha kedamaian di seluruh dunia. Tentu saja termasuk dengan usahanya di Timor Timur. Pasalnya, ASEAN Literary Festival tahun ini terus dibayang-bayangi oleh kelompok intoleran. Ada baiknya jika kita juga terus menjunjung kedamaian.
Suasana pembukaan di Teater Jakarta, meskipun mendapatkan ancaman penutupan, tetap diramaikan oleh penonton yang mendukung acara. Polisi bersiap di luar jika terjadi sesuatu. Akan tetapi, keramaian ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia haus akan kebenaran dan ilmu pengetahuan. Walaupun pembukaan terasa tegang karena pidato penyelenggara acara membahas pelarangan oleh kelompok intoleran, acara tetap berlangsung dengan meriah. Pecinta, pegiat, penikmat sastra dan seni tidak takut untuk berekspresi.
Tidak hanya kuliah umum dari José Ramos-Horta yang dipertunjukkan pada malam pembukaan ASEAN Literary Festival 2016. Sebuah pementasan teater bertajuk "Gatot Kaca Finding Love" juga menjadi hiburan spesial untuk para penonton di Teater Jakarta, 5 Mei 2016. Gatot Kaca menyelamatkan cintanya. Ia sengaja pergi ke bumi untuk mencari manusia yang tidak sempurna. Bosan katanya dengan dewa dewi. Saat Ia menemukannya, teror sedang mengancam sang pujaan hati. Dalam pementasan teater singkat di pembukaan ASEAN Literary Festival itu, cara memasukkan properti juga dipikirkan matang-matang. Tidak perlu ada blackout. Perpindahan properti dilakukan dengan estetis.
Cinta tidak berlabel. Tidak mengenal warna. Tidak mengenal siapa yang kuat dan yang lemah. Cinta untuk semua. Melabel-labelkan manusia sama dengan menghakimi mereka. Akan tetapi, apakah kita pernah berpikir, "Pantaskah kita menyatakan siapa yang berdosa?"
Tarian Korea juga diberikan kesempatan untuk tampil pada malam itu. Kibasan kipas yang begitu sesuai mengikuti irama membuat penonton terpukau. Rumbainya yang indah membuat seisi ruangan terpaku kepada para penari yang terlihat gemulai. Budaya tidak hanya ada di Indonesia. Akulturasi budaya dilakukan untuk membuka pikiran toleran, bertukar pandangan, dan mengerti satu sama lain.
Sampai di sini, saya juga tidak kunjung mengerti, mengapa seni harus dibredel kebebasannya? Ekspresi dibatasi seksualitas, sejarah dihalangi tembok kebenaran. Saya bingung, mengapa acara yang sarat dengan budaya Indonesia harus dilawan kelompok intoleran? Apa yang harus dilawan dari budaya tradisional bersuara merdu dan berpenampilan indah?