top of page

Siapkah Kita Menjadi Kerumunan Terakhir?


ASEAN Literary Festival 2016, sebuah acara yang mendukung habis-habisan dunia literer mendapatkan ancaman penutupan oleh kelompok-kelompok intoleran. Dibilang mendukung komunisme, dibilang mendukung LGBT. Akan tetapi, ancaman tersebut akhirnya terasa basi. Apakah mereka benar-benar tahu apa itu komunisme dan LGBT? Kelompok yang berdiri di depan Taman Ismail Marzuki tidak lebih dari tujuh individu. Protes jadi terasa main-main. Apa yang mereka lakukan? Untuk apa?


Sebagai seseorang--seperti sebutan Okky Madasari--yang hidup di zaman milenial atau zaman Y (saya menganggap diri saya bagian dari generasi XY karena sempat menyicipi budaya dua era tersebut), rasanya bodoh sekali jika kita tidak dapat mencari informasi lewat teknologi. Atau memang mungkin, informasi yang diambil tidak tersaring dengan baik maka muncul lah orang-orang yang disebut radikal, ekstremis, atau pun intoleran.


Mungkin ini memang hanya sekadar unek-unek. Anda pun, jika ingin menyanggah, tidak akan saya larang. Ini adalah opini pribadi. Memang setiap liputan dari Narasastra sengaja berbentuk blog. Setiap tulisannya tidak mewakili pendapat keseluruhan anggota. Hal ini dimaksudkan agar pada akhirnya, kami dapat jujur dengan pendapat kami. Seperti blog lain pada umumnya. Dan lagi-lagi analisis dalam teks ini hanya berdasarkan penglihatan mata (tidak didukung data-data). Akan tetapi, rasanya untuk membicarakan hal di atas, memang yang diperlukan adalah pendapat dan logika. Jika ingin berdiskusi lebih lanjut, baru lah kita munculkan data-data mutakhir (dan tolong, mutakhir digarisbawahi, jangan Kartini Kartono lagi).


Akhirnya kita sampai ke pokok bahasan. Memang pembukaan di atas agak ngalor-ngidul, tetapi sejujurnya masih ada kaitan dengan hal yang selanjutnya akan dibahas.


Okky Madasari, selang tiga tahun dari novel Pasung Jiwa, akhirnya menerbitkan novel kelimanya yang berjudul Kerumunan Terakhir. Novel tersebut diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dan diluncurkan dalam rangkaian ASEAN Literary Festival 2016. Peluncuran tersebut dilakukan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, pada tanggal 7 Mei 2016. Acara dibuka dengan pementasan kecil dari Pangeran Siahaan dan Putri Minangsari. Pementasan tersebut tentu menyinggung-nyinggung penggunaan teknologi sebagai alat pelarian. Selain itu, seperti yang sudah saya bilang di atas, novel ini bercerita tentang kegagapan manusia di tengah zaman yang berubah cepat, serta tidak memberi kesempatan untuk diam dan sekadar mengenang.


Memang, nyatanya Okky Madasari mendapatkan inspirasi Kerumunan Terakhir dari fenomena media sosial. Menurutnya, kehadiran media sosial dan penggunaannya secara masif membuat manusia tidak bisa membedakan kenyataan dan kehidupan media sosial. Jika dikatakan seperti itu, tentu saya langsung berpikir tentang pathological lying. Tidak dapat membedakan kejujuran dan kebohongan.


"Ada masalah kemanusiaan di sana (mengenai media sosial). Manusia berusaha keras untuk mendapatkan pengakuan atau ilusi atas kesuksesannya," kata Okky Madasari dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Gramedia Pustaka Utama.


Sejujurnya--ini adalah pernyataan subjektif--saya tidak begitu menyukai acara peluncuran dan diskusi buku--yang penulisnya dipersilakan datang untuk membela karyanya. Sudah bertahun-tahun saya termakan the author is dead. Bagi saya, pendapat-pendapat yang dilontarkan tentang karya (selain deskripsi atau sinopsis buku) menjadi pernyataan sia-sia. Akan tetapi, tentu tidak jadi masalah bagi kebanyakan orang. Pasalnya, diskusi dalam peluncuran tersebut juga ternyata membuat saya ingin membaca novelnya. Nirwan Dewanto, yang malam itu hadir sebagai "pengkritik" (saya kurang tahu sebutan untuk pembahas novel yang diluncurkan itu apa) berhasil melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang menggugah minat baca. Kemantapan dan kesantaian Okky dalam menjawab pertanyaan, walaupun oksimoron, menjadi bumbu penambah minat tersebut.


Rasanya, cerita tentang Jayanegara/Matajaya (walaupun dipertanyakan epistemologi dan semiotiknya)--(tapi itu kebiasaan peneliti untuk mempertanyakan segalanya, kita tidak perlu repot-repot memikirkan itu) patut kita baca. Kita perlu membahas pengaruh perkembangan teknologi lebih banyak lagi, khususnya lewat karya sastra.


Mari. Sila beli dan baca Kerumunan Terakhir karya Okky Madasari. Mulailah ketahui, apa yang terjadi di sekitar kita.


what do you think of this post?

bottom of page