(CERPEN) "Di Kuta"
Hari ini terik--penerangan yang bisa kugambarkan setiap hari. Meskipun sekarang masih musim penghujan, tetapi aku jarang melihat hujan seharian di pantai ini. Sepertinya matahari berkuasa penuh di sini. Beda dengan cerita temanku di daerah Nusa Dua. Mereka selalu kebingungan mencari tempat teduh untuk beberapa jam sekali. Hujannya datang tanpa tanda, seperti berkuasa di sana, seperti matahari yang berkuasa di sini. Kalau dipikir, Matahari dan Hujan sudah punya daerah kuasa masing-masing. Beruntunglah aku, tidak kebingungan mencari tempat teduh setiap beberapa jam.
Aku berjalan seperti biasa di pinggir jalan melewati beberapa toko pakaian dan makanan. Pakaian yang dipajang masih tetap dari kemarin, kemarin lusa dan kemarin lagi. Anehnya, banyak orang yang mau membeli setiap hari. Aku bingung, apa pakaian di sini sudah menjadi kewajiban untuk dibeli. Apalagi pendatang lokal yang cuma liburan, tamu internasional yang pakaiannya lebih mahal saja sepertinya merasa perlu membeli salah satu barang di sana. Satu lagi, aku susah mencari makan di sepanjang jalan ini, hampir semua makanan utamanya adalah daging. Meskipun aku juga bukan seorang vegan, tetapi aneh saja jika aku harus makan daging semenjak aku harus pergi dari rumah itu. Disayangkan sekali, aku bisa tidur dan makan tanpa mencari. Badanku pasti wangi setiap hari, aku tidak perlu berteduh cukup di dalam rumah melihat ke jendela sepanjang waktu. Akan tetapi, kalau lama-lama aku di sana, bisa bisa bodoh. Tuhan menciptakan dan menghidupkan aku sebagai pemberani, bukan pemalas yang diam di rumah. Aku terbiasa disayang, aku terbiasa dimanja. Ah, benar-benar lemah. Lupakan. Setidaknya aku sudah berusaha menjadi pemberani seperti maksud Tuhan untukku.
Kakiku masih belum berhenti sepanjang jalan. Telingaku masih mendengar suara-suara asing dengan beberapa bahasa. Sebenarnya memang ini bukan hal yang paling penting setiap aku melewati jalan ini. Cuma aku belum paham, apa yang mereka bicarakan. Kadang aku iri bisa melihat sekelilingku bisa saling berbicara, tidak aku dan teman-temanku. Tidak ada tempat pertemuan yang asyik untuk kami di sini. Biasanya cuma bertemu di jalan, itu pun kalau dia mau diajak bicara. Beginilah hidupku setelah keluar rumah. Tapi syukurku tidak selesai, aku beruntung bisa melakukan apa yang ku inginkan. Apa pun.
Sekarang aku sudah ada di dekat restoran chinese. Sepertinya masakan yang dijual laku keras. Untuk membuktikannya aku menuju ke belakang dapur. Aku mengamati koki yang sedang serius masak, pramusaji yang meletakkan kertas order di meja dapur dan tukang cuci piring yang membuang sisa makanan ke tong sampah. Kalau banyak orang yang makan di sini, seharusnya jumlah sisa makanan sedikit. Heran. Dasar manusia jarang bisa bersyukur, cuma menghabiskan makanan saja susah. Coba mereka hidup di jalan sepertiku, pasti akan mengumpat sama sepertiku sekarang. Setelah sisa makanan itu dijadikan satu, aku mendekati sampah itu dan mulai mencari makanan yang masih bisa di makan. Beberapa orang lewat di belakangku, sepertinya mereka memerhatikanku. Tapi perutku lebih penting daripada harus melihat mereka. Aku lahap sampai habis, tak kutinggalkan sisa seperti mereka yang duduk di dalam.
Tong sampah di situ menjadi tidak menarik lagi bagiku. Perutku menjauhkanku otomatis, tidak lagi mencari beberapa sisa makanan lagi. Baiklah. Sepertinya ini sudah cukup mengisi tenagaku untuk melanjutkan perjalanan. Sebenarnya aku sudah bosan jika setiap hari harus berjalan di pinggir jalan menuju pantai dan dari pantai kembali lagi ke jalanan. Begitulah, nomaden. Panasnya masih seperti biasa. Banyak kendaraan yang lewat, mobil parkir sembarangan dan yang seru saat taksi dan angkutan menunjukkan ketangguhannya lewat klakson. Setiap taksi dan angkutan berbaris ke belakang, pastilah aku mendengar musik dengan satu nada yang bersahutan. Kakiku sudah menginjak pasir pantai. Masih sama, pemandangan yang kulihat setiap hari. Orang lokal bertubuh hitam pekat dengan beberapa tinta hitam yang melekuk dan bentuk tubuh gagah tegap. Sempurna kataku untuk ukuran laki-laki. Perhatianku beralih pada sekumpulan wisata asing yang memakai baju renang lengkap. Tidak biasanya aku melihat pemandangan ini. Mereka bersiap untuk surfing. Olahraga yang menjadi pengamatanku setiap hari semenjak berada di Pantai Kuta. Kata teman-temanku, pantai ini wajib dikunjungi siapa saja yang berkunjung ke Bali. Bahkan ada yang bilang kalau belum sampai sini sama saja belum berkunjung ke Bali.
Badanku mendadak sempoyongan, aku berniat mencari teduhan untuk meletakkan tubuhku. Tidak mungkin aku ikut berteduh di bawah payung berbayar itu, bukan masalah bayarnya, tetapi belum sampai sana saja pasti aku sudah diusir. Aku memutuskan untuk meletakkan tubuhku dekat beberapa kursi plastik di dekat warung kecil pinggiran. Kursi yang mempunyai ruang besar di bawah yang kupilih, anggap saja payung mini yang hanya muat untukku saja. Mataku sepertinya mulai memerah, padahal pasir ini tidak pernah membuat mataku iritasi. Mataku sedikit-sedikit mulai tertutup. Sekarang aku cuma mendengar suara angin dan beberapa dialog pengunjung pantai. Sampai suara lelaki yang terdengar semakin keras diikuti beberapa orang yang ikut tertawa semakin mendekat. Tepat suara itu sampai, badanku tersentak seperti terdorong. Mataku membuka dan berdiri pergi sambil melangkah kaku. Sebenarnya peringatan seperti ini sudah sering kualami, jadi aku tidak pernah melawan.
Tempatku sekarang di dekat sebuah pohon. Kuletakkan badanku sekarang, beberapa meter dari kumpulan lelaki itu. Mereka--yang biasanya kulihat untuk mengajarkan pengunjung untuk surfing di pantai. Padahal aku tidak pernah menggagalkan mereka untuk mencari nafkah, tapi kenapa aku susah sekali mendapat tempat di daerah mereka. Mataku semakin berat, badanku masih sempoyongan. Tidak lama kulihat pengunjung baru masuk. Ada dua orang wisatawan lokal, sepertinya pasangan baru, mereka membawa satu lagi beda dari jenisku. Bulunya tebal dan mungil, matanya bulat hitam, cantik sekali. Ia dilepas dan diam menoleh sekitar, matanya sekarang menangkap tempatku. Mataku yang berat tetap bisa memerhatikannya, jarak kita semakin berdekatan. Ah, mungkin hanya mataku memang sedang tidak benar, ku kedipkan beberapa kali tetapi jarak kita semakin dekat.
"Kau kenapa?"
Ternyata memang ia mendekat. Badanku spontan menjauh darinya dan pergi mencari pohon lain. Akan tetapi, kakinya yang mungil dan lincah mengejarku.
"Tunggu, aku cuma ingin tahu kau kenapa?"
"Aku tidak biasa berbicara dengan pendatang di sini," kataku sambil berusaha tetap berjalan.
"Tubuhmu tidak sepertiku, padahal kau berkalung, matamu sepertinya juga merah. Apa kau diberi tuanmu alkohol?" Tidak mau kalah ia mempercepat langkahnya.
"Aku tidak manja sepertimu yang sudah dijadwal untuk mandi, diberi makan cukup, dan bermalas-malasan di rumah."
"Kau tahu dari mana bahwa aku manja? Kita baru saja berbicara 2 menit yang lalu. Apa aku tampak manja dan menyedihkan?"
Sebelum terjawab, aku sudah meninggalkannya. Dia masih mengekor di belakangku. Langkahku berhenti saat melihat sisa makanan di dekat tong sampah. Makanan itu seperti menarikku, padahal aku cukup kenyang dengan makanan tadi. Nah, aku berlari kecil dan memakannya. Dia ikut berhenti saat aku mulai mengendus dan memakan lahap.
"Oh, ini maksudmu?" Tiba-tiba dia menyampingiku dan ikut mengendus dan merebut makanan dengan tangannya.
Aku berhenti makan saat dia mulai melahap habis semuanya. Di sekitar mulutnya penuh butiran sisa makanan.
"Ka-kau suka?"
Tanpa jawaban dia mengelurkan lidahnya dan membersihkan mulutnya.
"Kau ini lupa ya, meskipun kita berbeda tempat tinggal, selera kita hampir sama. Makanan sisa, tulang bahkan....."
Aku memotong pembicaraannya, "tapi, kan, pasti masih lebih bersih dariku, walaupun itu sisa makanan."
"Kalau sekarang kau ajak aku untuk hidup di jalan bersamamu aku siap."
"Tuan yang merawatmu bagaimana? Pasti sedih kehilanganmu."
"Kau saja memikirkan Tuanku, kau tidak memikirkan Tuanmu?"
Rasanya kepalaku semakin berat, ditambah mata yang perih dilewati angin. Aku merebahkan badanku tidak jauh dari tong sampah.
"Pulanglah, Tuanmu pasti sudah menyiapkan tanah di halaman belakang rumah untuk tubuhmu. Mungkin mereka sudah mengubur barang kesukaanmu di sana."
Aku tidak menanggapinya. Aku tetap diam sambil berjalan sempoyongan.
"Pulanglah, anjing tak bisa hidup sendiri, kecuali ia ingin mati di jalan. Meskipun kamu terlihat menyeramkan, tetapi kamu sekarang terlihat menyedihkan." Ia menjauhiku dan menuju ke teduhan payung majikannya.
Setelah ekornya semakin menjauhiku, aku berdiri dan pergi keluar pantai. Setiap beberapa langkah, aku mulai mengingat jalan pulang ke rumah yang kutinggali.
Untuk anjing bermata sayu di dekat kursi.