top of page

Nostalgia dengan Hal Baru


Rasanya seperti duduk kembali ke kelas Pengantar Kesusastraan Indonesia. Akan tetapi, kali ini orang-orang yang menjadi "dosen" adalah penulisnya langsung. Tidak pernah saya lupakan, Pak Ibnu Wahyudi selalu meminta kami--mahasiswa Program Studi Indonesia, Universitas Indonesia--untuk membaca cerpen di koran setiap minggu. Kebetulan, saya yang berlangganan koran Kompas diberi kesempatan untuk mengenal gaya kurasi dalam koran tersebut.


"Ah, Kompas senang deskripsi tentang hal yang menjijikkan dan plot twist yang susah ditebak," menurutku pada waktu itu. Akan tetapi, ada satu cerpen yang sangat saya sukai; dan ini serius, tidak bohong, dan tidak dilebih-lebihkan. Di antara cerpen-cerpen--yang menurut saya, maaf, menjijikkan walaupun saya akui, bagus-bagus--ada cerpen Sepasang Sosok yang Menunggu yang menarik perhatian saya. Nama penulisnya, dahulu, terdengar masih asing, walaupun beberapa kali sering muncul di Majalah Horison. Norman Erikson Pasaribu. Hari itu, 10 Mei 2016, di Amber Chocolate Bar, saya seperti menemui bagian memori yang sudah lama tidak saya sentuh.


Penerbit Gramedia Pustaka Utama resmi mengumumkan penerbitan tiga buku Pemenang Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015. Menurut saya, ini juga merupakan fenomena baru. Saya yakin sekali, sewaktu saya pertama kali masuk kuliah, buku puisi yang ada di rak toko buku besar mana pun (bukan toko buku bekas atau pun Kwitang) hanya menjual buku puisi Chairil Anwar. Masih untung jika kamu menemukan buku Sapardi Djoko Damono, W.S. Rendra, dan Joko Pinurbo di sana. Terbitnya buku pemenang Sayembara DKJ ini adalah sebuah peningkatan. Artinya, apresiasi masyarakat terhadap puisi akhirnya kembali muncul ke permukaan.


Walaupun demikian, saya tidak mau terburu-buru menyimpulkan. Saya rasa peningkatan fenomena ini disebabkan oleh budaya populer--film. Tentu remaja-remaja yang sering dijadikan target pemasaran lebih mengenal Aan Mansyur dari pada Norman Erikson Pasaribu, Ni Made Purnama Sari, dan Cyntha Hariadi. Apakah kita harus miris? Tentu tidak! Pelan-pelan kita akan mengenalkan dunia sastra yang begitu luas--yang isinya bukan hanya Chairil dan Rendra.


Buku antologi puisi Sergius Mencari Bacchus karya Norman Erikson Pasaribu, Kawitan karya Ni Made Purnama Sari, dan Ibu Mendulang Anak Berlari karya Cyntha Hariadi adalah buah dari sayembara Dewan Kesenian Jakarta. Sekarang, buku-buku tersebut sudah terpajang di toko buku besar. Desain sampul yang oke juga membuat ketiga buku ini gampang terlihat. Mengenai isi? sudah pasti tidak perlu diragukan lagi. Ketiga buku puisi ini lolos penjurian Joko Pinurbo, Oka Rusmini, dan Mikael Johani dari 574 manuskrip yang masuk.


Memang, puisi-puisi yang dituliskan sangat menggambarkan zaman ini. Chairil dapat sangat terkenal karena berani menuliskan zamannya. Begitu pun Wiji Thukul. Begitu pun Rendra. Akan tetapi, zaman ini sudah terbagi ke dalam fragmen-fragmen. Tidak jelas apa yang harus dituliskan dengan kata kunci "zaman ini". Akhirnya, hal tersebut juga memengaruhi ketiga buku yang baru diterbitkan ini. Tidak salah. Ini salah zaman haha. Terlalu banyak isu kecil yang tidak dapat kita semua pegang. Kita bebas memilih apa yang ingin kita bela pada zaman ini.


Dalam deskripsi yang dituliskan dalam siaran pers peluncuran buku, Sergius Mencari Bacchus terbilang menuliskan tragedi dengan nada ringan dan komikal, sedangkan Kawitan menggambarkan empati sosial yang dituliskan dengan lembut. Adapun buku puisi Ibu Mendulang Anak Berlari (dan ini satu-satunya buku yang sudah sempat saya baca) menyampaikan kekompleksan pengalaman seorang ibu.


Jika kita sekilas melihat isi buku, jelas kita mengerti mengapa buku-buku ini yang menang. Permainan diksi yang baik digunakan oleh ketiganya. Bahkan, buku Kawitan sangat mengingatkan saya kepada puisi-puisi Sitor Situmorang dan Goenawan Mohamad. Adapun di Sergius Mencari Bacchus, saya seperti membaca Sapardi Djoko Damono. Akan tetapi, tenang, saya bukan bermaksud membandingkan. Jujur saja, ketika membaca puisi, yang saya cari adalah relasi makna. Artinya, apakah saya memiliki keterikatan dengan buku tersebut atau tidak? Tentu jika kita berbicara tentang zaman, saya lebih terikat dengan ketiga buku ini ketimbang buku-buku yang sebetulnya sudah diterbitkan berdekade-dekade lalu.


Tidak hanya permainan diksi, penggunaan enjambemen yang baik juga memukau saya. Saya termasuk seseorang yang memerhatikan ritme dalam puisi dan menurut saya, enjambemen dalam buku-buku ini, terutama Kawitan sangat pas digunakan. Selain itu, dalam Ibu Mendulang Anak Berlari, terdapat puisi mbeling pula. Saya semakin jatuh cinta terhadap buku-buku puisi ini.



what do you think of this post?

bottom of page