(ESAI) "Penulis dan Buku Medioker"
Sergius Derick Adeboi.
Takut tulisannya tidak dipublikasikan Narasastra karena menganggap bahasanya sedikit agak keras dan sarkastik.
"Mudah-mudahan lolos sensor," katanya.
_____________________________________________________________________________
Penulis-penulis Medioker dan Buku-buku Medioker Barangkali tulisan saya ini akan terdengar keras, sarkastik, implisit sedikit menyinggung, atau mungkin menyakitkan. Tulisan ini murni opini personal saya, tetapi tak saya maksudkan buat melukai siapa-siapa; kecuali Anda yang terbiasa dimanja eufemisme. Beberapa waktu lalu saya menyambangi sebuah toko buku terbesar se-ASEAN yang terletak di Matraman Raya. Seperti biasa, tiap sebulan sekali saya membeli keperluan alat musik, dan sembari menunggu senar gitar saya diganti, saya bermain ke lantai atas: playground impian saya semasa kecil. Lantai dua penuh dengan koleksi anak, dan saya tak tertarik. Langsung ke lantai tiga, dan dipaksalah saya untuk bercermin dalam realitas yang saya jumpai. Ada beragam novel, berbagai jenis, dari macam-macam penulis, lokal atau pun asing. Saya jarang sekali beli buku sastra di tempat ini. Bukan karena merasa tak ikhlas mengeluarkan saban 50 sampai 100 ribu, tapi sekali pun uang itu ada, saya tak berhasrat membelinya. Tentu, baik sampul, atau pun judulnya menggugah naluri kesusasteraan dan estetis saya. Warna yang dirangkai indah oleh perancang sampul yang bisajadi dibayar cukup mahal oleh penerbit. Atau judul yang sedemikian rupa dirundingkan dengan editor sampai memunculkan judul yang mungkin secara semantis ketika dipadukan dengan visual sampul akan memberi phantasmalgazm--ini istilah ciptaan saya--yang menstimulasi enzim konsumtif kita untuk membelinya dan mengetahui isinya. Tapi bukankah seperti itu psikologi dari penjualan sebuah buku sastra, terutama sekarang ini? Bagi penulis baru sebisa mungkin harus memunculkan judul serta sampul yang siap saing dengan buku karangan penulis lainnya. Bukankah ini pasar? Prinsip-prinsip dasar ekonomi pastilah diterapkan. Kalau tidak, ya, gratiskan saja buku-buku itu. Akhirnya, ketika nama menanjak, mudah saja memublikasi buku, entah dengan kontrol kualitas yang baik, atau sekadar jual dengan memakai nama besar. Contohnya si penulis best seller yang beberapa waktu lalu memancing keributan di Facebook dengan hardikannya terhadap penganut liberalisme, sekulerisme, dan semacamnya. Itulah pemandangan yang saya dapati di depan mata saya, sesaat setelah eskalator mengantar saya ke lantai tiga. Tumpukan buku yang cerah dengan cahaya lampu yang terang. Ah, toko buku ini cerdas sekali menstimulus psikologis calon konsumennya. Namun, cobalah berjalan ke pojok lantai tiga yang remang, di pojokan dekat jendela. Barangkali, kalau Anda cukup kritis, Anda akan sampai pada titik kesimpulan yang sama dengan saya: sebegini kejamkah dunia penulisan? Di pojok remang itu, terjajar berbagai buku di etalase, sebagian besar nama pengarang lokal yang bahkan tak pernah saya dengar sekalipun namanya. Apalagi bukunya. Saya berandai-andai, barangkali 5--6 bulan lalu buku mereka ini terpampang cerah di rak depan eskalator, namun karena tak laku, diasingkanlah mereka ke sudut gelap lantai ini. Tidak, saya tak bersimpati, saya cuma berusaha memaknai secara rasional. Saya tak kenal para penulis di sudut gelap ini, bisa jadi menulis bukan pilihan hidup mereka. Bisa saja mereka adalah pengusaha atau karyawan sukses yang pundi hartanya melimpah. Tapi jelas, dalam hierarki lantai ini, mereka hanyalah penulis medioker yang menulis buku-buku medioker. Saya membayangkan lagi betapa bahagianya mereka ketika naskahnya diterima dan akan diterbitkan. Pastilah mereka sertakan kabar gembira ini ke akun media sosial mereka. Dan ucapan selamat bertebaran. Sesekali menghadiri bedah buku, dan peluncuran buku. Lalu menikmati bukunya dipajang di etalase utama. Sumringah betul pastinya. Lalu beberapa bulan kemudian, ketika sudut gelap jadi rumah baru mereka, masihkah euforia itu dirasakan? Penjualan mungkin tak begitu mulus, setidaknya 1000 eksemplar terjual dengan bagi honor penulis 10 persen dari harga buku yang kisarannya 50.000, alias 5 juta rupiah. Tapi ini murni interpretasi saya, lho. Faktanya saya tak tahu bagaimana. Mungkin saja sedang di-rolling, dan nanti posisi buku mereka dikembalikan ke etalase utama. Mungkin, lho. Yang menggelitik buat saya adalah, awal bulan ini naskah novel saya ditolak oleh editor. Saya memang tak mengekspektasikannya untuk dirilis, terlebih penerbit yang saya kirimi adalah penerbit terbesar se-Indonesia. Sementara karya saya, kalau dibaca pun bikin muntah karena alurnya berbelit, aneh, surrealis, dan tak memikat secara bahasa. Justru kalau sampai terbit, barangkali dalam sehari sudah dipindahkan ke sudut gelap. Tapi tenang, suatu waktu nanti akan saya terbitkan--entah bagaimana caranya--biar Anda bisa baca. Kemudian saya membuat sebuah ilustrasi pilihan di kepala saya: Manakah yang lebih membahagiakan; ketika buku saya berhasil diterbitkan oleh penerbit besar, namun tak berapa lama berpindah ke sudut gelap alias tak laku; atau ketika saya tak menerbitkannya sama sekali dan tak perlu dicap sebagai penulis medioker yang tak laku? Dan pada akhirnya saya hanya melewati rak-rak buku sastra medioker yang miskin cahaya itu, mengarah ke bagian rak yang cahayanya medium; ternyata satu komik Samurai X dan satu komik Hunter x Hunter yang memenangkan hati saya malam itu.