Dari Pita Merah hingga Kisah Cinta yang Berdarah
Bagi pecinta literatur, novel Les Miserables yang merupakan masterpiece novelis asal Prancis, Victor Hugo, tentu tidak asing lagi. Tak hanya sekadar menjadi bacaan, naskah yang ditulis Hugo pada 1862 sudah diadaptasi dalam bentuk film, drama, opera, dan lain-lain. Salah satu perwujudan Les Miserables yang mendunia adalah film drama musikal yang diproduksi oleh Working Titles Films berkolaborasi dengan Universal Pictures. Tak tanggung-tanggung, film ini menjadi film terbaik Golden Globe.
Kesuksesan naskah Les Miserables memenangkan sejumlah penghargaan perfilman dan ramainya adaptasi naskah tersebut dalam opera-opera di negara asalnya, tak menyurutkan niat Teater Katak untuk menghadirkan karya besar ini di Indonesia, khususnya di ibukota Jakarta. Teater yang berada dalam payung Universitas Multimedia Nasional (UMN) sukses mementaskan Les Miserables pada 28--29 Mei lalu di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).
Naskah Les Miserables disadur kembali oleh Venantius Vladimir Ivan Pratama selaku sutradara. Benang merah yang diangkat tak jauh berbeda dengan naskah aslinya. Jean Valjean, seorang narapidana yang mendekam selama 19 tahun di penjara dibebaskan oleh seorang inspektur bernama Javert, tetap menjadi tokoh sentral pementasan ini.
Jean Valjean diceritakan sebagai tokoh yang mengalami perubahan jalan hidup yang begitu drastis. Lelaki yang menghabiskan masa mudanya dalam penjara karena mencuri roti berhasil menjadi walikota dan pengusaha yang sukses. Namun, bayang-bayang hitam Javert selaku penegak hukum yang tak pandang bulu terus menghantuinya.
Tak hanya itu, konflik batin seperti tak putus mendera Valjean. Hal tersebut bermula dari kehadiran Fantine selaku pekerja di unit bisnis Valjean. Fantine yang yang dipecat Valjean karena fitnah rekan kerjanya beralih profesi menjadi pelacur. Dunia kelam yang dialami Fantine membuat Valjean merasa bersalah. Ia lantas berusaha menebus itu semua dengan membesarkan putri Fantine, Cosette.
Begitu Cosette beranjak dewasa, mereka pindah ke Paris. Di sinilah pusat konflik terjadi. Cosette bertemu cinta pertamanya, sementara Valjean kembali berhadapan dengan “hantu” di masa lalunya, Javert. Tambahan pula kala itu di Paris tengah terjadi pemberontakan besar-besaran atas sistem monarki yang disimbolisasi dengan gerakan “pita merah”.
Venantius Vladimir Ivan Pratama selaku sutradara mengaku sudah merencakan pementasan sejak September lalu. Nama besar Les Miserables yang begitu populer tentu menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya akan banyak perbandingan yang dilekatkan pada naskah ini. Namun, pria yang akrab disapa Ivan ini tetap optimis.
Tekad Ivan dan rekan-rekan Teater Katak tentu membuahkan hasil. Pementasan Les Miserables yang sekaligus menjadi pementasan ke-43 mereka sukses memukau penonton. Riski Safaat sukses mengambil alih peran Jean Valjean, sementara peran Javert dimainkan oleh Dira Nararyya dengan sangat baik. Keduanya menghadirkan konflik yang menegangkan di tengah-tengah penonton.
Riski bahkan secara pribadi mengakui karakter Valjean memberikannya satu premis bahwa selalu ada kesempatan dan selalu ada pengampunan. Adapun bagi Dira, Javert adalah sosok hukum yang sesungguhnya. Berbicara Javert, berarti berbicara hukum. Peran keduanya selama kurang lebih 3,5 jam seolah menohok penonton untuk memaknai hukum yang sesungguhnya, dimana selalu ada wilayah abu-abu jika kita berbicara hukum.
Selain unsur hukum dan politik yang kental dalam pementasan ini, Ivan juga sukses menghadirkan nuansa romansa dan anekdot-anekdot “jahil” di hadapan penonton. Tokoh Cosette (Idelia Risela) dan Marius (Dionisius Evan) berperan penting dalam menciptakan suasana cinta yang berbahaya. Cosette yang notabene adalah anak angkat Valjean--yang menjabat walikota--menjatuhkan cintanya kepada Marius, pemuda tampan yang merupakan salah satu tokoh penting dalam revolusi Prancis. Jelas secara politik, Marius adalah orang yang tidak akan akur dengan Valjean.
Nuansa romansa itu ditambah dengan kehadiran Eponine yang dimainkan Gizela Cindy. Eponine adalah sosok yang mencintai Marius secara diam-diam dan penuh ketulusan, bahkan hingga kematiannya dalam pemberontakan berdarah di Paris tersebut.
Tidak hanya nuansa serius dalam Les Miserables, kecerdikan Ivan menyikapi kebaruan-kebaruan masa kini berhasil melahirkan kejahilan-kejahilan yang membuat tawa penonton meledak. Peran ini dimainkan oleh Yudhistira A. Wardhana sebagai Monsieur Thernadier dan Rofiqog N. Ashriany sebagai Madame Thernadier. Peran sebagai pasangan suami istri yang sangat materialis mereka bawakan dengan jenaka. Ragam gestur dan dialek-dialek keduanya spontan mencairkan kekakuan di atas panggung. Ivan bahkan berani menyisipkan Kalijodo dan beberapa bahasa slang populer lainnya.
Nuansa musikalitas yang sarat dalam naskah Les Miserables dimainkan secara langsung dan khidmat oleh Teater Katak. Sepanjang pertunjukkan, irama-irama orkestra membangun suasana tersendiri. Tak hanya sebagai pelengkap pertunjukan, orkestra Teater Katak menghadirkan imaji-imaji yang kuat, menambah daya ledak kemampuan akting aktor-aktornya di mata penonton.
Pementasan Les Miserables versi Teater Katak ditutup dengan aksi ciamik keseluruhan pemainnya. Ivan menyuguhkan sedikit modernisasi di penghujung pertunjukan lewat “pesta ulang tahun” secara berani; sekaligus memberikan jawaban tersendiri bagi penonton tentang arti hukum, perjuangan politik, cinta, dan ambisi.