top of page

(CERPEN) "Gunting Pencabut Nyawa"


Agina Naomi, bisa dipanggil Agina atau Gina. Ia sedang mengenyam pendidikan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI. Di sela-sela waktunya, ia suka menulis puisi dan cerpen. Tulisan Agina yang terdiri dari cerita pendek dapat dibaca di naomimalikblr.tumblr.com. Adapun puisinya dapat dibaca di naomimalik.blogspot.com. Ia memberi julukan alias panggilan sayang untuk semua tulisannya dengan nama Meleong-Eong--yang artinya bebas ke mana saja, tidak terikat idola maupun hasrat, hanya ingin bebas seperti dirinya sendiri.

_________________________________________________________


Aku butuh waktu beberapa menit untuk sadar bahwa di tanganku kini ada satu gunting. Tidak bisa kusadari di mana aku berada saat itu. Pandangan mataku menyisir seluruh pemandangan rumput kering yang menutupi tanah luas di hadapan dan di belakangku. Warna rumput itu kecoklatan, sedikit sekali rumput yang tampak segar dan berwarna hijau. Aku menunduk, memandang gunting berwarna hitam pekat yg tajam.

“Cepat bawa aku. Jangan diam saja.” benda mati berbicara. Memandang lurus ke mataku.

“Bercanda.”

“Ini mimpi.” batinku.

Aku beralih pandangan dari gunting tersebut ke pemandangan yang berjajar rapi di depanku. Seperti dalam hatiku berkata, “Tolong, siapa pun!” Tetapi tak ada suara, mulutku tak bisa terbuka. Mulut ini seperti telah berkontribusi dengan keadaanku sekarang. Ia mendukung gunting itu tampaknya.

“Ini bukan mimpimu. Kau yang membukakan pintu untukku. Sekarang kumohon bawa aku ke batu besar di depan sana, tinggal jalan sedikit saja.” Ia menjawab. Benda mati berbicara denganku.

“Apa kau ilusiku?” Aku bertanya hati-hati, memilih kalimat tanya yang tepat karena sepertinya benda mati itu pemarah.

“Bukan!” Betul dugaanku.

“Lalu di mana mulutmu? Kau berbicara tapi aku tak melihat mulutmu.” Kali ini aku pasrah agar bebas bertanya padanya.

“Kau tidak usah banyak tanya. Bawa aku ke batu itu. Cepat!” Ia menegaskan untuk keberapa kalinya.

“Mengapa harus aku? Kau sendiri saja.” Tampaknya aku bertanya tanpa berpikir panjang.

“Kau bisa lihat sendiri. Aku tidak punya kaki.” Baiklah aku benar-benar bertanya tanpa berpikir.

“Apa itu tugasmu?” Aku kembali pasrah.

“Tugasmu.” Jawab pendek si benda mati.

“Tugasku?”

“Aku hanya alatnya.”

“Aku semakin tidak mengerti.” Keadaanku sekarang benar-benar tidak mengerti apa-apa.


Tidak mengerti siapa gunting itu, bagaimana ia bisa berbicara? Bagaimana ia bisa seperti memandangku lurus jauh ke kedalaman bola mataku? Di mana tempat ini? Untuk apa batu besar itu? Apa tugasku? Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku yang tidak bisa disusun prioritasnya.

“Agar kau mengerti…” Ia berbicara, namun aku memotong.

“Apa?”

“Bawa aku dan dirimu sendiri ke batu itu.” Kini ia tampak tegas.

“Aku tidak percaya denganmu. Lagipula kamu benda mati.” Aku memberanikan diri.

“Aku benda mati? Aku, ya, aku. aku sebagai manusia dan kamu juga sebagai manusia.” Jawaban yang sulit.

“Kau? tidak ada kau untuk sebuah benda mati. Hanya ada aku, aku sebagai manusia.”

“Persetan kau. Jika tidak sekarang juga kita ke batu itu kau yang akan mendapat masalah.”


Benda mati itu mulai menusuk kedalaman mataku, sepertinya ia berhasil menginstruksikan diriku untuk segera menjalankan tugas. Aku berjalan lurus sesuai garis lurus tempat batu besar itu berada. Di atasnya bukan diisi dengan kekosongan. Aku melihat diriku di sana. Tertidur pulas dengan mulut terbuka sedikit, sehingga terlihat sangat pulas. Memakai gaun putih dan memeluk foto diriku sendiri di atas perutnya. Foto itu diambil ketika aku berusia 15 tahun, tersenyum manis dan lembut, terlihat seperti kebahagian meletup-letup saat itu. Tapi berbeda dengan badan yang berada di atas batu besar itu, kebahagian seperti tidak meletup-letup, hanya kekosongan dan ruang hampa yang ada.

“Itu diriku. Semakin bercanda.” Aku membisik, namun si benda mati mendengar jelas.

“Ingat, kau yang membukakan pintu itu untukku. Dan kau harus menjemput ajalmu sendiri. Menggunakan aku.” Iba terlihat di kedalaman matanya saat itu.

“Untuk apa?! Dan untuk kedua kalinya aku katakan bahwa benda mati bukan kau.”

“Kau yang membukakan pintu itu untukku dan kau yang ingin menjemput dirimu sendiri.” Si benda mati mengulang kalimat itu berkali-kali.

“Jangan mempermainkan aku dan Tuhan-ku.”

“Kau yang memohon ini kepada Tuhan-mu.”


Aku semakin tidak mengerti. Semakin kuusahakan untuk memahami semuanya, semakin pening kepalaku. Mau pecah berkeping-keping lantas terbang dibawa angin.

“Baiklah. Tapi aku punya satu pertanyaan lagi, untuk apa aku menjemput ajalku sendiri dan mengapa menggunakan gunting?” Ternyata aku melontarkan dua pertanyaan.

“Kau bilang hanya punya satu pernyataan. Aku akan menjawa yang kedua. Kau hanya perlu menggunting fotomu. Maka kau akan pergi.” Jika ia menjawab pertanyaan yang pertama pasti jawabannya adalah, "sudah takdir."

“Baiklah. Aku sudah gila memercayaimu. Baiklah. Baiklah.” Aku menyerah dengan menganggap bahwa ini hanya mimpi atau ilusiku saja dan akan berakhir beberapa saat lagi ketika pintu kamarku diketuk keras oleh Ibu untuk segera sarapan.


Aku menggerakkan tanganku. Tapi tidak lugas. Bergetar rasanya. Aku tahan tangan kananku yang memegang erat si gunting dengan tangan kiriku. Tapi tetap tidak diam. Aku ulang sekali lagi. Aku tanamkan kembali di pikiranku bahwa ini semua, percakapan dengan beda mati, berada di rumput kering yang luas, dan melihat diriku sendiri diatas batu hanyalah ilusiku. Hanya mimpi yang akan berakhir beberapa saat lagi. Tapi tidak seperti itu pikiranku. Ketegangan merasuki seluruh otot tangan kananku.

“Beranikan dirimu.” Ia seperti pasukan wanita seksi yang sedang bersorak memberi semangat kepada tim lelaki yang sedang berjuang dalam pertandingan basket.


Aku maju selangkah. Si benda mati telah menyentuh fotoku yang dipeluk oleh diriku yang sedang berada di atas batu besar itu. Tergunting. Gunting itu lenyap, awalnya ditutupi dengan beberapa kabut tipis dan dia menghilang begitu saja. Aku seperti mendengar sesuatu. Ketukan Ibuku. Aku berusaha bangun. Aku berlari ke tempat pertama aku muncul, di titik aku berdiri pertama kali melihat rumput kering yang berjajar rapi dan luas di hadapanku. Tapi tidak terjadi apa-apa. Aku berusaha nenyusutkan diriku ke atas, menjorok ke atas agar bisa disedot dengan ruang dan waktu yang berbeda. Ruang dan waktu ke kehidupan normalku. Tapi tidak terjadi apa-apa.


Aku telah mati. Dibantu oleh si benda mati.

what do you think of this post?

bottom of page