(CERPEN) "Tentang Perempuan yang (Gagal) Bersembunyi"
Ade Ubaidil, pencerita yang berdomisili di Cilegon. Kelahiran Serang, 02 April 1993.
Buku-bukunya yang sudah terbit, kumpulan cerpen, Air Mata Sang Garuda (AG Litera, 2013), Novel Kafe Serabi (Divapress, 2015), kumpulan cerpen, Mbah Sjukur (2016).
Dua tahun terakhir sibuk dengan kegiatannya mengurus perpustakaan yang didirikannya bernama, “Rumah Baca Garuda” bertempat di Cibeber, Cilegon.
______________________________________________________________________________
Tentang Perempuan yang (Gagal) Bersembunyi
Tepat di lemparannya yang ketujuh kaleng soda itu terjatuh. Ia tergelak sesaat untuk kemudian berlari. Tidak-tidak, ia tidak meninggalkan kaleng itu sendiri di kursi taman. Barangkali ia sadar jua kalau ada kamera pengawas terpasang di mana-mana. Negara yang sekarang sedang ia sambangi adalah negara yang dikenal sangat ketat dalam menerapkan peraturannya. Jadi tak heran bila banyak mata-mata mengintai.
Ia kembali mendudukkan kaleng soda itu. Lalu memunguti lagi kerikil-kerikil yang tadi sengaja dilemparkannya. Ketika dirasa cukup, ia mengambil beberapa langkah mundur dan siap mengulangi kejadian beberapa menit sebelumnya.
“Sedang apa?” ia kaget bukan main. Suara di belakang lehernya hampir berhasil membuat ia mengeluarkan jurus seribu langkah. Beruntungnya, pemilik suara itu lekas mengambil posisi di depan wajahnya.
“Ah, sial!”
Aku tertawa puas melihat parasnya yang pias dan pucat pasi, di bawah terik mentari yang ganas.
“Mau apa ke sini?” ia berpaling. Masih belum terima dan belum percaya barangkali kalau aku sedari tadi menyamar menjadi kamera pengintai baginya.
“Hei. Kita fear-fear-an aja, deh,” ini memang akan terdengar sedikit menyakitkan. Ya, mudah-mudahan ia hanya mendapatkanya sedikit. “Aku jauh-jauh ke sini juga ingin menyibukkan diri sendiri, bukan mengurusi orang lain. Sudah bosan.” Kan sudah kukatakan, baginya ini cukup menampar. Tetapi biarlah, ia sudah delapan tahun, dan aku rasa sedikit
kalimat teguran tak akan membuat ia berganti kelamin.
“Apa?! Mau lapor ke Mama?” kataku mengejek. Sialnya aku tahu ini akan terjadi, tetapi masih saja aku lakukan. Ia benar-benar mengeluarkan jurusnya. Dan hal-hal yang seharusnya ia tanggung, kini jadi tanggung jawabku. Begitulah menjadi seorang kakak. Meski tak ada aturan bakunya yang tertulis.
Cukup banyak juga batu-batu kerikil yang ia himpun sepanjang jalan dari Merlion Park sampai ke Cavenagh Bridge ini. Benar-benar nekat bocah itu. Kalau dia keliaran dan kabur di sekitaran rumah, pasti sudah aku abaikan permintaan mama untuk menjemputnya. Bagaimana tidak, alasan ia pergi menjauh dari kami karena mama sempat mengomelinya. Tentu mama ada maksudnya. Hal biasa yang kita temui ketika berfoto dengan patung Merlion pasti membuka mulut lebar-lebar dan seolah air yang mancur dari mulutnya masuk ke mulut kita. Tapi, si Gema, rada sedeng. Mungkin ia juga tertular dari abangnya. Hahaha. Sebab mau bagaimanapun, Gema melakukan itu karena bisikan (setan) dariku.
“Ma, fotoin aku.” Ia ancang-ancang berlari, tepat ketika aku selesai mendekatkan mulut ke telinganya. Mama antusias saja meladeni si bocah tengil itu. Tapi tak lama air mukanya berubah.
“Kamu lagi ngapain, sih, Gema?”
“Udah fotoin aja dulu, Ma.” Ia memaksa. Aku sengaja tak ikut campur dan tak mau ambil pusing. Sembari cekakak-cekikik aku memerhatikan wajah sebal Gema yang dijewer mama.
“Biar apa foto begitu? Nggak sopan!” suara nyaring mama sempat membuat turis- turis dan pengunjung lain berpaling ke arah mereka. Aku sudah berada cukup jauh. Tetapi karena tak tega aku mendekat.
“Jangan malu-maluin. Diusir kamu baru tahu rasa!” Wah-wah, mama sudah berlebihan. Apa alasan Gema diusir? Dia ‘kan cuma nungging membelakangi patung Merlion itu.
“Tapi, kan cuma buat di foto, Ma.” Haduh, ini bocah. Bukannya diam saja malah menyangkal.
“Terus maksudnya biar apa?”
“Biar patung Merlion-nya nyebokin aku, Ma.” Aku tertawa cukup keras sekali. Tak kupedulikan orang-orang yang memerhatikan kami. Karena kami di sini memiliki cara untuk berbahagia, dan itu hak semua orang.
“Pasti kamu ini biang keladinya!”
“Eh-eh..., bu-bukan, Ma.” Sial, aku mendapat jewerannya juga. Awas kau, Gema!
“Jangan nurut sama abang kamu yang gelo itu. Apalagi kalau disuruh ngelakuin hal-hal buruk.” Mama menatapku sinis. Puliran jarinya luar biasa sekali. Telingaku masih terasa berdenyut-denyut dan perih meski sudah ia lepaskan. Dan kesialan datang lagi ketika Gema memilih pergi. Ah, pasti dia purik!
“Yang masih belum gue ngerti, dia, kan lagi kesel sama Mama, terus pas gue samperin dia nyeloyor lagi. Kira-kira dia ke mama atau kabur lagi lebih jauh, ya?” aku terus saja ngeranyam dan ngacaprak sendirian di kursi taman ini. Toh, orang-orang di sini asosial, simpulku asal. Hampir semuanya tak saling peduli satu sama lain. Sibuk dengan dunianya masing-masing. Dan inilah yang sedang aku butuhkan sekarang. Terserahlah Gema mau berlari ke mana, dia tak mungkin tersesat. Negara Singapura terlampau kecil untuk membuat orang tersesat dan kehilangan arah pulang.
“Boleh ke saya duduk di sini?” aku terperanjat. Seorang perempuan berkulit putih langsat menyapaku. Aku yakin ia asli penduduk sini. Wajahnya oriental ditambah logat Melayunya yang kental.
“Oh, tentu. Silakan, silakan.”
Aku mulai kikuk. Padahal maksud hati ingin sendiri. Aku butuh, me time!
Tetapi kalau aku pergi sekarang juga, ia pasti akan tersinggung. Ya, meskipun aku belum sepenuhnya paham watak juga adat penduduk pribumi sini.
“Indonesia, ya?”
Dari mana dia tahu?
“Benar, ke? Sungguh pon aku hanya tebak saje.” Ia terkekeh. Belum aku menjawab, mungkin hanya melihat dari ekspresi wajahku yang melongo, ia menyambar.
“Hebat, sekali, Miss,” pujiku.
Lalu seperti obrolan pada umumnya bagi orang yang belum saling kenal, banyak waktu kosong dan terbuang sia-sia. Namun perempuan di sebelahku sepertinya pandai berbual-bual.
“Sedang menanti someone, ye?”
Aku menggeleng-geleng.
“Enak sekali kalau masih hidup sendiri.”
Aku terdiam sesaat untuk mencerna maksudnya.
“Jom..., blo?” ia berusaha mengeja. Sepertinya itu bahasa baru baginya. Entahlah!
“Hehehe..., Miss, lucu.” Hanya itu yang bisa aku katakan.
“Ganggu, ke, saya di sini?”
“Oh, tidak-tidak. tentu sahaja tidak, Miss.” Lekas-lekas aku mengelak. “Aku justru senang bisa bercakap-cakap langsung dengan pribumi.” Sepertinya dugaanku memang benar.
“Sungguh? Apekah yang membuatmu senang?”
Aku diam lagi. Gerombolan burung dara mendarat di hadapan kami. Barangkali mereka meminta belas kasihan. Andai mereka ada di kampung tempatku tinggal, burung dara yang datang pasrah ini pasti sudah lenyap satu per satu. Sudah dikeplekin. Di paksa-jodohkan dengan burung-burung piaraan mereka.
“Kenapa diam?”
“Oh, nggak, kok, Miss. Ya, senang saja, begitu. Karena, kan—” aku memutus ucapanku. Bila aku katakan, pasti ini akan menyinggungnya.
“Orang-orang Indonesia memang terkenal ramahnya. Suamiku asli from Indonesia. Ketika kami pindah ke Singapura pun, ia pandai bercakap-cakap dengan tetangga.” Ia tersenyum. Tetapi aku menangkap senyuman yang berbeda seperti awal ia datang ke kursi ini.
Aku tak berniat untuk menyela ucapannya. Aku berikan ia waktu untuk mengatur napasnya sesaat.
“Mungkin sebagian orang Indonesia, atau bahkan negara lain menganggap kalau warga sini asosial. Atau apeulah tu yang diucapkan Ibu mertuaku. Intinya, tak ramah pon laksana orang Indonesia.” Ia menatap jauh ke hotel Marina Bay Sands. “Padahal, di budaya kita ada ramah-tamah jua. Hanya saja memang tak se-intense orang Indonesia. Kami akan bicara kalau ditegur atau ditanya lebih dulu. Tetapi kami tidak akan memulai lebih dulu dengan alasan tidak ingin mengganggu privasi orang lain. Itu saja.”
Aku membulatkan mulutku seraya mengangguk-angguk. Tetapi memang benar apa yang diutarakannya, kemarin, saat aku bertanya pada salah satu penduduk asli untuk mencari jalan, mereka akan membantu sampai benar-benar ketemu, sejelas-jelasnya. Bahkan, ketika mereka tidak tahu, alih-alih menggeleng, mereka malah menanyakan lagi pada orang lain dan meminta kami menunggu di tempat semula sampai ia kembali. Barangkali inilah gunanya berjalan-jalan ke luar negeri atau ke tempat-tempat baru. Banyak hal yang bisa kita pelajari dan dijadikan acuan untuk saling menghargai dan menghormati orang lain. Toleransi!
Tetapi tunggu dulu, bukankah ia tadi memulai menyapaku? Bukankah itu berarti dia menganggu privasiku yang sedang ingin menghabiskan waktu sendirian.
“Maaf kalau tadi aku mengganggu privasimu, ye.” Astaga, ia sepertinya mendengar suara hatiku. Secanggih itukah negara ini, bahkan warganya bisa membaca pikiran orang lain. Ah, ngelantur!
“Ah, santai saja. Sudah kukatakan, aku tak merasa terganggu.”
“Berarti aku yang terganggu. Sejujurnya, aku tak bisa terus-terusan begini. Aku mencoba menyapa orang lain lebih dulu seperti bukan diriku sebenarnya. Tetapi, demi membahagiakan suami, terlebih Ibu mertuaku, aku coba beranikan diri menerapkan ini dan melakukannya.”
“Kamu istri yang sangat baik. Suamimu pasti bangga padamu dan semakin mencintaimu.” Aku lagi-lagi memujinya. Perkiraanku, ia masih sepantaran dengan usiaku, duapuluh lima atau dua puluh enam-lah.
“Sayangnya tidak begitu.”
Hmm, apalagi, ini? apa aku harus bertanya, ‘kenapa?’ atau, ‘maksudnya?’ tetapi tanpa aku tanya begitu pasti ia sudah tahu apa yang aku perdebatkan dalam hati.
“Dia tidak benar-benar mencintaiku. Justru ini caraku agar dia mencintaiku.” Benar, kan? Wah, kalau begitu, aku harus hati-hati dalam berbicara, sekalipun dalam hati.
“Kalau tak keberatan, boleh aku tahu alasannya kamu berkata begitu?”
Kemudian ia bercerita panjang lebar. Tentang perselingkuhan-perselingkuhan suaminya ketika masih tinggal bersama di Indonesia—ia bisa memastikan dari pesan-pesan yang masuk ke ponselnya; tentang bekas lipstik yang lupa dihapus dari seragam kerjanya, tentang perlakuan yang mendadak romantis dan tidak seperti biasanya, memergoki ia sedang mencium perempuan di tempat parkir mobil dan kafe, dan segala macam. Pokoknya banyak hal. Ia memang mengatakan seperti bisa membaca garis wajah seseorang atau pola tingkahnya bila berbohong. Ah, andai saja memiliki keahlian serupa. Pasti dengan mudah aku akan tahu dengan siapa saja kekasihku berselingkuh, sekalipun ia berdalih berulang kali.
Sekarang ke mana suamimu?” aku tak bermaksud mengorek-ngorek informasinya lebih dalam.
“Hampir satu jam lalu kami berpapasan dengan perempuan di jembatan itu.” Ia menunjuk Cavenagh Bridge di hadapan kami. “Katanya ia mengenal perempuan itu dan sudah lama tidak bertemu. Segalanya serba kebetulan. Lalu ia memintaku menunggunya di sini sementara ia mampir sejenak ke tempat perempuan itu bekerja.”
“Apa kamu tidak curiga?”
“Curiga sudah menjadi nama tengahku.” Ia tertawa getir.
“Apa kamu tidak marah, berontak, atau ekstremnya lagi menceraikannya?” kenapa jadi aku yang tiba-tiba meluap-luapkan emosi begini.
“Ini akan terdengar klise dan picisan.”
“Maksudmu?”
“Ia terbilang orang terpandang di Indonesia. Pemegang beberapa perusahaan.” Ia merunduk sesaat. Wajah ayunya berubah muram dan air matanya merembas. “Ayahku terbelit utang kepadanya..., ah, sudahlah.”Aku mengangguk menyapakati ucapan sebelumnya. Ku elus bahunya menenangkan.
Selang lima menit ketika ia mulai bisa mengontrol diri, aku mendapati suara Gema
merengek. Ia datang dari balik punggung kami. Tidak sendiri, tetapi bersama seorang laki-
laki dan perempuan.
“Benar, ini adikmu?” tanya lelaki itu yang kutahu kemudian kalau ia suami dari orang yang duduk di sampingku. Namun, aku malah terkesiap memerhatikan siapa perempuan yang berusaha bersembunyi di belakangnya. “Dia tadi menangis sendiri karena tersesat. Aku ajak saja karena tahu dari Indonesia. Ketika dari jauh ia melihatmu, lantas memintaku membawanya kemari.”
Sungguh, dia memang lelaki yang baik. Aku menjabat tangannya dan mengucapkan
terima kasih. Aku benar-benar sudah tak peduli lagi dengan anjing betina di sebelahnya.