top of page

Kita Abadi


Foto oleh: Indraswari Pangestu


Yang Fana adalah Waktu. Kita Abadi berhasil dipentaskan kembali oleh Teater Garasi pada 26 Juli lalu di Auditorium Gedung IX, FIB UI, setelah setahun sebelumnya proyek seni kolektif ini berhasil melakukan pementasan teater dengan judul yang sama di tanah kelahiran mereka, Yogyakarta. Selain di FIB UI, Teater Garasi juga akan melakonkan Yang Fana adalah Waktu. Kita Abadi di Goethe-Institut Jakarta pada 30 dan 31 Juli 2016. Judul pertunjukan dipinjam dari puisi Sapardi Djoko Damono, Yang Fana adalah Waktu (1978). Menurut sang sutradara, Yudi Ahmad Tajudin, Yang Fana adalah Waktu. Kita Abadi berupaya mempelajari bagaimana ledakan “suara” atau “narasi” (ideologi, agama, identitas) di Indonesia pasca 1998 menciptakan dan menyingkap subjektivitas serta kekerasan baru maupun laten.


Saya belum pernah menonton pementasan Teater Garasi sebelum lakon pada hari Senin lalu. Saya tergugah untuk menonton pertunjukkan ini karena melihat poster lakon yang terpampang di papan informasi gedung VII. Hal pertama yang saya temukan adalah Po—tokoh Teletubbies (acara televisi masa kecil anak kelahiran 90-an di Indosiar)—digambarkan tidak dengan hiasan bulat melingkar di atas kepalanya seperti alat peniup gelembung Spongebob namun dengan rambut merah merona ala Lukas vokalis band punk asal Bandung, Tcukimay, di dalam posternya (meskipun setelah selesai menonton, saya tidak memahami maksud eksistensi si Po versi punk tersebut). Hal menarik kedua, yaitu Po menunggangi kuda putih liar. Saya juga menemukan nama Ugoran Prasad (Melancholic Bitch)—satu-satunya nama yang saya ketahui—dalam daftar nama pelakon yang entah apa perannya dalam pementasan ini. Saya cukup malu karena ternyata senior-senior bahkan teman seangkatan telah terlebih dahulu mengetahui tindak tanduk Teater Garasi.


Saat hari pementasan, saya datang cukup terlambat. Sekitar tiga puluh orang termasuk saya dilarang masuk hingga 15--20 menit setelah pertunjukkan dimulai. Ternyata memang penonton yang terlambat datang harus menunggu di luar hingga pergantian babak dalam pementasan. Mungkin hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar seluruh penonton di dalam auditorium tetap pada tingkat “ketidakwarasannya”. Saya yang terlambat hadir dan tertinggal prolog cerita, lumayan dibuat bingung tentang apa lakon yang sedang dimainkan. Kebingungan semakin menajdi ketika saya menyadari semua pemain yang sedang beradegan maupun tidak, tetap berada dalam satu panggung beserta satu orang operator yang duduk anteng dibalik laptopnya. Transisi yang dilakukan menuju babak berikutnya pun juga demikian kisruhnya. Para penata panggung yang terlihat jelas memasukkan dan mengeluarkan barang dari panggung dengan sorotan lampu yang cukup terang. Seakan ingin memperlihatkan, bahwa ini bukanlah malam pementasan untuk mereka tetapi ini hanyalah latihan teater pada umumnya.


Saya terus memperhatikan kain putih yang menjadi latar belakang panggung dan menjadi tembok untuk menampilkan proyeksi visual serta teks monolog dan dialog yang diucapkan para pemain sekaligus terjemahannya dalam bahasa Inggris. Kepiawaian aktor dan aktris terlihat pada bagian ini. Kata per kata yang mereka ucapkan memiliki ketepatan yang akurat. Setiap pemain hafal dengan cue masing-masing saat berdialog maupun bermonolog sehingga terbukti bahwa setiap kata-kata yang mereka katakan memang berasal dari teks. Pendobrakan-pendobrakan struktur keteateran modern juga mereka

lakukan kembali ketika adegan dibuat 180 derajat membelakangi penonton. Penonton tetap dapat melihat adegan lakon melalui proyeksi visual yang ditembakkan ke kain putih yang menjadi latar belakang panggung. Hal ini sangat diharamkan untuk dilakukan dalam masyarakat penganut teater modern seperti saya dan sebagian besar penonton yang hadir. Namun, Teater Garasi berhasil meramu hal-hal “negatif” tersebut untuk mempunyai arti tersendiri dalam dunia teater. Unsur aspek seni lainnya pun dalam pementasan ini juga sangat menarik. Tari-tarian yang dilakukan secara berulang (gerakan tangan penari perempuan terlihat seperti gerakan Samara dalam The Ring) dan music scoring eksperimental terbaik—menurut saya—dimiliki Teater Garasi, meskipun gelombang suara yang keluar kurang optimal karena kurangnya perawatan fasilitas auditorium.


Di balik semua penggarapan teknis yang cadas dan berhasil menyulap auditorium gedung IX, FIB UI menjadi kelewat mewah, Teater Garasi juga berhasil mengirimkan pesan sutradara secara simbolik melalui isi panggung mereka. Simbol yang jelas terlihat dapat ditemukan dari patung raksasa yang bertengger di ujung kanan panggung dan ditutupi dengan terpal biru dari awal hingga akhir cerita. Seluruh penonton berharap untuk melihat suatu manuver dari patung tersebut, namun hingga akhir cerita patung tersebut tidak bergerak sama sekali. Bahkan terpalnya pun tidak terbuka. Si raksasa ini adalah simbol untuk menyampaikan kepada kita bahwa masih ada rahasia besar yang ditutupi semenjak kerusuhan ’98 hingga sekarang. Dari tahun 2002 di mana Rosnah yang ingin menjadi artis Ibu Kota, kakak laki-lakinya yang ingin pergi ke Afghanistan dan benci sekali komunis, adiknya yang terobsesi mengumandangkan azan, dan ayahnya yang hobi sekali menembaki burung telah berubah ketika sampai pada tahun 2012. Sepuluh tahun kemudian kakak Rosnah telah pergi ke Afghanistan, adiknya bisa mengumandangkan azan pada saat yang tepat, ayahnya sudah mempunyai hobi menembaki yang lain, dan Rosnah dapat menjadi ‘artis’ bagi dirinya sendiri. Semua hal dalam kehidupan mereka berubah bersamaan dengan waktu yang terus maju. Namun, patung raksasa tetap pada tempatnya, tidak bergerak, bahkan tidak terbuka kepada mereka maupun kita. Ia tetap berada disinggasananya untuk membuat kita penasaran atau malah melupakan? Tergantung cara pandang kita terhadapnya. Apakah kita ingin menunjukkan perhatian atau tidak. Kepada masa lalu yang

masih menjadi aib untuk sekarang dan selanjutnya.


Waktu akan tetap fana, Teater Garasi abadi.



what do you think of this post?

bottom of page