Bio Fantasy: A Tribute to Chairil Anwar
Salihara, 13 Agustus 2016, Melissa mendedikasikan Bio Fantasy untuk menghormati Chairil Anwar. Bio Fantasy ini memamerkan 6 karya seni fiksi dan paparan kutipan puisi Chairil Anwar di balik 75 karya visual abstrak, yang hanya dapat dibaca menggunakan lensa merah. Proyek tersebut dibuka dengan sebuah fiksi ilmiah yang ditulis sendiri oleh Melissa Sunjaya. Dengan latar futuristik tahun 2942, menyiratkan bahwa manusia dapat merusak lingkungan dengan mudahnya, karena manusia tidak mengerti jati dirinya sendiri. Tokoh dalam cerita tersebut adalah seorang ilmuwan yang jatuh cinta pada Ayati seorang wanita setengah robot. Ayati memiliki keterbukaan jiwa dan mengapresiasi karya dan hidup Chairil Anwar, ia juga percaya bahwa transkrip puisi Chairil Anwar mempunyai peranan penting untuk mengubah dunia. Melissa mengatakan bahwa proyek Bio Fantasy ini mengkaji peradaban kita saat ini, dengan observasinya tentang kecenderungan global. Masyarakat modern telah mengadopsi sebuah bahasa sosial baru yang ada di dunia maya. Tanpa sadar, budaya dunia maya memupuk sebuah jenis bahasa unik yang semakin tidak menggunakan empati. Visi Melissa untuk proyek tersebut adalah menanamkan puisi yang beremosi ke dalam karya seni.
Melissa sempat bertemu dengan Prof. Dr. Burton Raffel, seorang sastrawan Amerika Serikat yang juga menerjemahkan karya Chairil Anwar ke dalam bahasa Inggris, di buku The Voice of Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar. Prof. Raffel menjelaskan bahwa beberapa bulan sebelum meninggal dunia, sangat sukar bagi pujangga untuk mencapai prestasi budaya yang Chairil Anwar persembahkan ke dalam sastra Indonesia. Kepelikan bahasa terlihat dalam hasil terjemahannya, di mana setiap elemen mengikuti kalimat aslinya. Dengan cara ini juga, Prof. Raffel berhasil menyusun kata-kata Chairil Anwar untuk memiliki kekuatan yang sejajar dalam bahasa Inggris seperti dalam bahasa Indonesia.
Tepat pukul 19.00, Pameran Bio Fantasy dibuka dengan beberapa kata pengantar, dari Melissa Sunjaya untuk meresmikan pembukaan pameran. Setiap pengunjung masuk diberikan lensa merah dalam bentuk hampir menyerupai lensa pembesar. Lensa merah dipakai pengunjung untuk membaca bagian dari instalasi seni bermakna ganda tentang ‘rasa puisi’, sehingga karya tersebut menjadi interaksi aktif. Tidak hanya pada karya abstrak, Melissa juga menulis pada beberapa bagian dinding di dalam ruangan. Pengunjung juga bisa melihat karya fiksi ilmiah dalam sebuah buku yang diletakkan di atas meja. Melissa menjelaskan ketika menyelami puisi, esai dan kompilasi artikel tentang karya Chairil Anwar yang ditulis oleh sastrawan lain, Melissa mempelajari tentang eksplorasi yang gigih terhadap subjek-subjek eksistensialis tentang cinta, kelahiran, kematian, kehampaan, dan agama. Pandangan Chairil Anwar yang paling berpengaruh pada karya Melissa adalah prosa berjudul “Membuat Sajak, Melihat Lukisan”. Sampai akhirnya, Melissa mencoba mengaplikasikan pola pandang Chairil Anwar yang maju ke dalam perjalanan seni, dengan belajar secara bertahap untuk mengekspresikan diri tidak hanya melalui tulisan dan ilustrasi, tetapi juga melalui cara esoterik lainnya, seperti seni bunyi dan seni gerak.
“Untuk mengerti diri kita dan segala aksi kita, kita harus berimajinasi tentang masa depan yang terburuk. Kita harus memberikan usaha yang terbaik di hari ini dalam mengubah gambaran nasib yang suram tersebut, dengan cara memahami tujuan kita dalam alam semesta ini dan menemukan identitas jiwa kita. Ini adalah kajian secara kritis terhadap ruang pemikiran kita, untuk meraih sebuah kondisi kemanusiaan yang progresif melalui empati.”
– Melissa Sunjaya, Jakarta 2016.