(ESAI) "Romantisme Gambar dan Aksara"
Areispine Dymussaga Miraviori sering disapa Aga.Lahir di Yogyakarta, 20 Juli 1991.
Pendidikan S1 ditempuh di program studi Sastra Indonesia Universitas Indonesia tahun 2008-2012.
Pendidikan S2 ditempuh di program studi Ilmu Susastra, Universitas Indonesia tahun 2013-2016.
Saat ini bekerja di Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta.
Senang juga menggambar menggunakan cat air dan cat minyak.
Dapat dihubungi via surel di dymussaga@gmail.com.
______________________________________________________________________
Romantisme Gambar dan Aksara;
Sebuah Tulisan Atas Kumpulan Puisi Berlin Proposal Karya Afrizal Malna(1)
oleh Areispine Dymussaga Miraviori(2)
1. Sebermula adalah Kata
Pada 30 Maret 1973, Sutardji Calzoum Bachri mengeluarkan sebuah tulisan yang diberi judul Kredo Puisi, yang kemudian menjadi titik yang menandai perubahan dalam sejarah kesusastran Indonesia, khususnya puisi. Tesisnya sederhana: Sutardji berusaha membebaskan kata dari maknanya. Kata menjadi sebuah kesatuan yang berdiri sendiri tanpa terbebani oleh tugasnya sebagai penyampai makna. Terpisahnya kata dari ide-ide yang dibebankan kepadanya ini lantas memungkinkan kata tersebut memiliki tubuhnya yang independen, bebas menentukan arahnya sendiri dengan kreativitas yang tak terbatas.
Berbicara mengenai ‘pembaruan’ yang diusung Sutardji, maka tidak bisa kita lepaskan dari suasana ‘pembaruan’ yang muncul dalam kesusastraan Indonesia pada pertengahan 1960-an. Di tengah dekade ini Indonesia mengalami huru-hara politik yang berimbas besar pada seluruh sendi kehidupan masyarakat, termasuk juga dalam kebudayaan. Sapardi Djoko Damono dalam “Tentang Eksperimen, Eksperimentasi, dan Sebagainya: Beberapa Catatan Tentang Puisi 1970-an”(3) mencatat bahwa pada pertengahan dekade tersebut, perkembangan puisi Indonesia terbelah menjadi dua kecenderungan umum: (1) puisi-puisi bertemakan sosial–yang seringkali disebut dengan ‘realisme sosialis’, meskipun agak lain dengan pengertian realisme sosialis yang berkembang di negeri-negeri penganut paham sosialis dan komunis, melainkan mengalami penyesuaian dengan keadaan masyarakat Indonesia– sebagai sebuah reaksi dari para penyair terhadap keadaan politik Indonesia, dan (2) puisi-puisi yang temanya jauh dari jenis yang disebutkan sebelumnya. Pada kecenderungan yang kedua ini, seperti yang ditulis Goenawan Mohamad dalam esainya “Nyanyi Sunyi Kedua”(4), dipenuhi oleh puisi-puisi dengan eksplorasi poetika yang mempertahankan keutuhan emosi dan imajinasi sebagai nyawa dari sebuah puisi, berbeda jauh dengan puisi-puisi pada kecenderungan pertama dengan pernyataan-pernyataan yanglebih konklusif.
Eksplorasi poetika yang terdapat pada kecenderungan kedua ini kemudian memungkinkan adanya eksperimen-eksperimen dalam karya yang muncul, tidak hanya dalam puisi melainkan juga dalam prosa dan teater(5). Munculnya berbagai eksperimen yang terjadi pada tahun-tahun ini disebut Goenawan sebagai sebuah gerakan avant garde dalam kesusastraan Indonesia(6); sebuah pernyataan yang cukup menggambarkan betapaeksplorasi besar-besaran tengah dilakukan oleh para seniman Indonesia.
Eksplorasi sendiri merupakan suatu hal yangtidak dapat dihindari dalam dunia kepenulisan, sebab seorang penulis pasti melakukan perkembangan dalam tulisannya sendiri, baik dalam keberagaman tema maupun stilistika.Dalam hal ini, kembali ke awal pembicaraan, Sutardji adalah salah satu kasus yang menarik dalam perkembangan kesusastraan sebab dengan beraninya ia meruntuhkan makna dari kata-kata yang selama ini *banyak* dipercaya sebagai satu-satunya media yang mampu menyalurkan emosi dan imajinasi ke dalamwujud yang bisadibaca dan dipahami orang lain. Lantas, permasalahan muncul ketika pembaca kemudian dihadapkan dengan puisi-puisi Sutardji, salah satunya,ambilsaja puisi berjudul “Q” yang dipenuhi dengan tanda seru [!] dan huruf [a], [l], [i], [f], dan [m] secara tak beraturan. Masyarakat Indonesia yang sangat lekat dengan tradisi lisannya pun bertanya: bagaimana cara membaca puisi ini?
Kita memang masih belum bisa memisahkan puisi dengan bunyi. Membaca puisi berarti memainkan rima, aliterasi, fonetik, dan irama:berbagai anasir dan kaidah-kaidah yang membangun puisi,sehingga sebuah puisi mencapai keindahannya meskipun hanya dibaca di dalam hati. Mantra-mantra yang diucapkan oleh dukun terasa lebih familiar dan bisa kita pahami maksud dan kegunaannya, meskipun kita tidak memahami kata demi 3kata yang diucapkan si dukun, sebab mantra-mantra tersebut menghasilkan nada. Puisi “Q” milik Sutardji mungkin masih bisa ‘dibaca’, mengingat puisi tersebut masih memiliki aksara, yang setelah diamati susunannya, membentuk sebuah kata: “alif lam mim”. Namun, bagaimana cara membaca ‘puisi’ Danarto yang berupa susunan delapan garis yang membentuk sembilan buah kotak?
Barangkali ada satu konsep mengenai hubungan antara aksara dan kelisanan yang seringkali kita lupakan. Walter J. Ong dalam Orality and Literacy (1995) berusaha mengingatkan kita bahwa pada mulanyakata adalah bunyi. Bunyi-bunyian (audio) yang kita gunakan untuk merujuk suatu benda atau hal, dengan perkembangan teknologi, kita pindahkan menjadi bentuk visual yaitu gambar. Maka, pada dinding-dinding goa dapat kita temukan gambar-gambar purbakala yang menceritakan kehidupan pada masa itu, segala informasi yang berusaha direkamoleh manusia pada zamannya dan dapat dibaca oleh orang lain hingga ribuan tahun kemudian.Dalam perjalanan waktu, gambar-gambar tersebut terus berubah mengikuti perkembangan zaman; disederhanakan, dipraktiskan, dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kebudayaan di masing-masing tempat.
Di Tiongkok, misalnya, gambar-gambar tersebut disebut hanzi, setiap satu gambar (karakter) merujuk pada satu benda atau hal. Dua karakter hanzi yang berbeda apabila disatukan akan membentuk satu karakter lain lagi dengan makna yang lain pula. Misalnya, karakter ‘atap’ (宀) dan ‘perempuan’ (女) apabila digabungkan akan menghasilkan karakter ‘aman’ (安). Contoh lainnya, karakter ‘sepuluh’ (十) dan ‘mulut’ (口) apabila bergabung akan menghasilkan karakter ‘kuno’ (古). Sementara di Indonesia berkembang banyak gambar yang digunakan sebagai petanda, misalnya pallawa dan dewanagari yang banyak ditemukan dalam situs-situs arkeologi. Gambar-gambar itulah yang kemudian kita sebut dengan aksara, termasuk juga di dalamnya aksara latin atau romawi yang saat ini kita gunakan sehari-hari. Kita sering lupa bahwa huruf [a], [b], [c], [d], [e], dan seterusnya yang kita gunakan ini adalah gambar, sehingga kita terkungkung dalam keberaksaraan latin dan gagap ketika berhadapan dengan ‘puisi’ Danarto yang disebutkan sebelumnya.Padahal, yang dilakukan oleh Sutardji maupun Danarto ‘hanyalah’ sesederhana mengembalikan bahasa kepada bentuk, simbol, atau sumber acuan yang sebelumnya, yang bisa dibilang lebih primitif ketimbang kekompleksan bahasa yang kita gunakan saat ini.
Hal yang sama juga terjadi dalam seni musik. Kita mengenal gambar not balok sebagai petanda untuk bunyi-bunyian dengan tone yang beraneka. Tanpa perlu huruf latin untuk menerangkannya, kita dapat membaca not balok tersebut dan memainkannya dengan piano menjadi sebuah lagu yang merdu. Begitu pula yang terjadi dalam teritori digital: susunan garis yang tidak dapat terbaca oleh saya barangkali menjadi sesuatu yang masuk akaluntuk komputer, atau minimal oleh orang yang mengerti bahasa komputer.
2. Afrizal dan Romantisme Puisi Visual
Apabila Sutardji atau Danarto memiliki kesadaran untuk mengembalikan bahasa kepada bentuk, simbol, atau sumber acuan yang sebelumnya dalam rangka mengeksplorasi keindahan puisi tanpa melalui kata-kata, Afrizal Malna memiliki latar belakangnya sendiri dalam menulis puisi-puisidalam antologinya yang terbaru, Berlin Proposal (2015). Dalam tulisan pengantarnya, Afrizal sedikit banyak bercerita mengenai kegelisahannya atas keterbatasan bahasa yang dialaminya setibanya ia di Berlin pada tahun 2012 lalu: tubuh yang hanya terbiasa dengan bahasa Indonesia harus berhadapan dengan benda-benda dan lingkungan berbahasa asing yang kemudian menjadi seperti seakan menjauhkan dirinya dari dunia baru di sekelilingnya. Untuk memenuhi kekosongan itulah Afrizal, seperti yang dikutip dalam tulisan pengantarnya, “...keluar masuk museum untuk memenuhi kebutuhan membaca dengan cara melihat. Atau pergi ke pasar loak yang menjual barang bekas di hari Minggu”. Terbatasnya input yang ‘hanya’ berupa gambar visual tersebut kemudian menghasilkan output yang juga ‘hanya’ bisa berupa gambar visual, sebab Afrizal tak memiliki bahasa yang mampu mengolah rasa yang ia dapatkan di tengah keterasingan ini. Bagi Afrizal, gambar-gambar itulah aksara yang dapat digunakannya.
Pengalaman yang didapat oleh Afrizal tersebut setidaknya menunjukkan kepada kita bahwa betapa petanda sifatnya sangatlah personaldan subjektif, seperti halnya puisi Danarto yang mungkin hanya bisa dipahami oleh dirinya sendiri, atau bahasa komputer yang tidak bisa saya mengerti. Perbedaannya dengan petanda yang kita gunakan sehari-hari hanyalah seberapa luas cakupan dan penyebaran petanda tersebut sehingga dapat 5digunakan oleh orang lainsehingga subjektivitas tersebut perlahan-lahan kabur.Keterbatasan bahasa dan aksara seperti yang dialami oleh Afrizal justru membawanya kepada sebuah pengalaman berpuisi yang lebih luas, pada hakikatnya semua bentuk audio dan visual dapat menjadi puisi yang bisa dinikmati.Dalam penulisan puisinya sendiri, Afrizal menggunakan teknologi In Design yang memungkinkannya untuk ‘menggambarkan’ puisi dengan lebih leluasa, jauh dari kekakuan baris dan kolom seperti yang terdapat pada aplikasi lain seperti Word, misalnya.
Hal ini dapat dilihat dalam puisi Afrizal yang berjudul “Puisi Digital”, puisi tersebut terdiri dari garis-garis panjang dan pendek yang berselang-selingan. Saya tidak mengerti bagaimana caranya menyampaikan maksud dari puisi tersebut, dan kalaupun bisa, barangkali resepsi yang muncul dalam benak sayaakan berbeda dengan apa yang dimaksud oleh Afrizal.Membaca tulisan ini pun sepertinya harus dilakukan sambil melihat langsung puisi-puisi Afrizal yang disebutkan, sebab keterbatasan sitematika aksara tidak akan cukup untuk menampung luasnya rasa dan makna. Akan tetapi, jika saya tetap ditanya bagaimana resepsi saya terhadap puisi tersebut, maka saya akan menjawab bahwa garis-garis dalam “Puisi Digital” mengingatkan saya kepada garis-garis pada monitor denyut jantung meskipun agak berbeda. Garis-garis yang digambarkan semakin pendek di kolom-kolom garis selanjutnya, bagi saya, seperti interval atau pulse yang merendah.
Hal yang sama juga terjadi dalam puisi “Tektonik Digital” yang berupa garis-garis paralel yang terputus oleh sebuah tanda koma, kemudian dilanjutkan lagi oleh garis-garis paralel lain yang lebih panjang. Yang saya ketahui hanyalah fungsi dari tanda koma sebagai pemberi jeda. Tanda koma dalam “Tektonik Digital” memang sepertinya memenuhi fungsinya sebagai pemberi jeda, sebelum garis-garis paralel yang ada sebelumnya dilanjutkan lagi dengan bentuk yang persis sama, namun tanda koma itu juga yang sebenarnya memutus stagnansi garis-garis paralel tersebut. Sampai di sini, saya kurang lebih bisa memahami letak ‘tektonik’ yang disebutkan Afrizal dalam judul puisi ini. Dari kedua puisi di atas, baik yang terbaca maupun yang tak terbaca oleh saya merupakan sebuah petanda yang digunakan Afrizal untuk menyampaikan pengalaman yang didapatnya, barangkali secara audio, visual, atau dalam ranah digital. Maka, garis-garis yang muncul dalam kedua puisi di atas tidak lagi sebatas garis-garis yang dingin dan kaku, melainkan garis-garis yang memiliki muatan emosinya sendiri. Bagaimana pun garis-garis tersebut adalah sebuah aksara.
Afrizal tidak hanya ‘bermain’ dengan garis-garis dalam membahasakan pikirannya, melainkan juga dengan susunan aksara yang membentuk sebuah gambar yang lebih besar, sebagaimana yang sering disebut dengan puisi konkret. Menariknya, ‘gambar-gambar besar’ yang dibangun oleh Afrizal menggunakan aksara sekaligus membentuk kesatuan konsep. Hal ini dapat ditemui dalam puisi “Altar Pergamon”yang menggambarkan keterbukaan ilmu pengetahuan seiring perkembangan zaman. Altar Pergamon, yang merupakan peninggalan bersejarah yang dibangun pada masa kerajaan Yunani di bawah Raja Eumenes II, merupakan altar yang digunakan sebagai tempat persembahan kepada Dewa Zeus dan Dewi Athena. Ditilik dari mitologi yang melatarbelakanginya, Dewa Zeus atau Jupiter melambangkan omnipotensi sementara Dewi Athena atau Minerva merupakan lambang dari ilmu pengetahuan.Dengan demikian, keduanya membentuk sebuah konsep ‘omnipotensi ilmu pengetahuan’, yang dalam “Altar Pergamon” digambarkan Afrizal berupa susunan nama-nama portalinformasi dari masa ke masa. Nama-nama ini kemudian disusun sedemikian rupa membentuk sebuah altar: tingkat paling bawah berupa aksara yang menyusun kata “the cyrus cylinder” dan pada tingkat paling atas tersusun kata-kata “bbc”, “cnn”, “msn”, “ask”. Apabila diamati lebih lanjut, nama-nama portal informasi tersebut disusun ke atas berdasarkan tingkat keterbukaannya; mulai dari the cyrus cylinder yang sangat sekretif hingga bbc yang menawarkan informasi setiap hari ke seluruh dunia tanpa batas.
Sementara itu dalam “Mitos Mimesis”, Afrizal menyusun deretan alfabet yang paralel secara vertikal dan horizontal, menggambarkan kesamaan/kesetaraan posisi sebagaimana terjadi dalam sebuah proses mimetik.Proses mimetik akan mengasilkan bayangan yang sama persis dengan objek aslinya, seperti cermin. Akan tetapi,Afrizal memunculkan huruf-huruf yang berbeda dalam susunan alfabet tersebut, seolah ingin memecah mitos mimesis yang kita kenal.Sama dengan kedua puisi sebelumnya, kesatuan gambar dalam “Altar Pergamon” dan “Mitos Mimesis”di atas merupakan sebuah petanda atas konsep yang dipahami Afrizal terhadap hal-hal yang muncul dan terjadi di hadapannya, yang tidak mampu ia rekam dan bahasakan menjadi kalimat-kalimat naratif melainkan membentuk sebuah skema.
Ada sebuah puisi yang paling menarik hati sayadalam buku Berlin Proposal ini yaitu sebuah puisi berjudul “Mauerpark”. Dibanding keempat puisi yang telah disebut di atas, “Mauerpark” cenderung lebih mudah dibaca. Isinya adalah susunan nama barang-barang bekas; mulai dari “mesin tik bekas”, “ikat pinggang bekas”, “buku puisi bekas”, hingga “teropong bekas”. Selain benda-benda tersebut, ada pula verba seperti “seseorang masih menatap” dan “nyenggol pantat orang”. Kata-kata tersebut disusun sedemikian rupa ke dalam kolomdan baris yang rapih, membentuk sebuah lukisan. Ya, puisi ini adalah cara Afrizal untuk ‘melukiskan’ pemandangan Mauerpark, sebuah flea market, yang pernah dikunjunginya. Kolom dan baris memisahkan barang-barang yang didagangkan oleh satu penjual dan penjual lainnya; sebuah lanskap visual direkam Afrizal melalui kata-kata.
Kelima puisi Afrizal yang disebutkan di atas jelas membawa pembacanya kepada sebuah pengalaman yang baru, gambar-gambar, baik yang kaku maupun yang lentur, dapat memunculkan romantismenya sendiri meskipun tanpa bahasa dan narasi poetik.
3. Penutup
Pagi tadi saya buka dengan sebuah artikel dari newyorker.com bertajuk “In The Future, We Will Photograph Everything And Look At Nothing”. Pernyataan dalam tajuk tersebut muncul dari beberapa hal, salah satunya adalah kebiasaan baru kita untuk menambahkan gambar di setiap kalimat atau narasi yang kita sampaikan, baik berupa foto maupun emoticon. Perpaduan antara gambar dan kalimat tersebut kemudian menghasilkan informasi yang lebih ‘bernilai’, hingga akhirnya diciptakanlah sebuah aplikasi editor foto yang lebih canggih sebab “a picture worth thousand words”. Penemuan ini, setidaknya, hampir sama seperti yang terjadi dengan apa yang dilakukan oleh Sutardji dalam Kredo Puisi-nya, yaitu berhasil membukakan keterkungkungan makna oleh aksara.Bukan berarti keberadaan aksara harus diingkari, sebab aksara merupakan gambar itu sendiri. Hal ini jugalah yang terjadi dalam puisi-puisi Afrizal yang ia satukan dalam Berlin Proposal, sebuah hasil dari penggambaran dunia ketika bahasa menjadi sesuatu yang sangat material, namun tetap mampu diromantisasi dengan gambar dan aksara yang beraneka untuk menyampaikan kedalaman rasa.
________________________________________________________
1 Makalah untuk diskusi Puisi, Bahasa, Teknologi Media: dari Berlin Proposal –Afrizal Malna di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 14 April 2016.
2 Alumnus Pascasarjana Universitas Indonesia Departemen Ilmu Susastra tahun 2016. Saat ini bekerja di Institut Kesenian Jakarta.
3 Sapardi Djoko Damono dkk, Sastra Indonesia Tahun 1970-an: Kajian Tematis (2009). Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
4 Horison (1969), No. 2, Th. IV, Hal. 42.
5 Di tahun-tahun ini, dalam dunia teater, muncul gelombang Tradisi Baru yang diprakarsai oleh Putu Wijaya dan Rendra (Cobina Gillit Asmara dalam “Tradisi Baru: A “New Tradition” of Indonesian Theatre”. Asian Theatre Journal, Vol. 12, No. 1 (Spring, 1995), hlm. 164-174. University of Hawai’i Press) yang mengembangkan bentuk baru, eksperimen, fusion, dan apresiasi fisik yang tertuang dalam naskah-naskah terjemahan. Hal ini dikatakan Asmara bahwa gelombang Tradisi Baru tersebut “...has been used to describe works of art produced by directors, playwrights, choreographers, composers, and writers who use aspects of the many traditional cultures of Indonesia and present them in innovative and experimental ways in order to address contemporary society.”
6 lih. 2