top of page

(ESAI) "Amerika, Orangtua dan Laut, dan Sebuah Pencarian Nilai"

Ditya Nurhakiki Subagja, born Bandung 24th July 1994.

Currently studying Indonesian Linguistic and Literature at Universitas Indonesia.

Former editor in chief for Majalah Gaung at Faculty of Humanities, Universitas Indonesia.

Some of his poems are published in Jarak Menghidupkan Hasrat, a collective poetry of Teater Pagupon members.

Currently developing Ultra Stardust, Bandung-based publishing house and press with his several friends.

______________________________________________________________________________________________


Amerika, Orang Tua dan Laut, dan Sebuah Pencarian Nilai


tulisan ini adalah pengantar untuk diskusi klub buku salihara tanggal 20 Agustus 2016 yang membahas "Sastra Amerika: Hemmingway dan Vonnegut"


Sudah selayaknya sebuah negara memiliki wajah yang berbeda-beda dalam sejarah. Kita mengenal Amerika sebagai negara adidaya setelah ia masuk pada blok yang menang Perang Dunia dan unggul pada perang teknologi menuju 1970. Lantas bagaimana wajah kebudayaannya?

Sebelumnya, negara adidaya ini pernah kesusahan dan dirundung isu kemiskinan yang ia sebut The Great Depression, tahun 1930. Lesunya ekonomi mereka saat itu mengharuskan banyak orang kehilangan pekerjaan dan banyak usaha menengah di kota-kota besar harus ditutup karena kesulitan melangsungkan kerja. Kecenderungan nilai yang diangkat oleh para seniman dan penulis saat itu berusaha mengkritik pemerintahan pusat yang dinilai tidak mampu melindungi ekonomi masyarakat. The Great Depression mempertaruhkan hidup banyak orang saat itu, dan saat nilai tukar saham serta ekonomi pusat dianggap mengganggu kehidupan ekonomi banyak orang di seluruh Amerika, kekuatan ekonomi di masing-masing negara bagian menjadi jalan untuk memperbaikinya.

Di antara para penulis dan karya yang lahir saat itu, para pengamat menyebut mereka kaum southern agrarians. William Faulkner, Walter Prescott Webb, dan Lewis Mumford adalah para budayawan dan penulis yang berusaha menggaungkan nilai-nilai regionalisme saat ekonomi sentral di Amerika waktu itu dianggap bobrok. Para budayawan mengkritik pemerintahan pusat dan para pengarang berusaha melihat kehidupan kecil para masyarakat Amerika di pedesaan. Faulkner misalnya menggambarkan kehidupan masyarakat Amerika dengan gaya narasi monolog interior yang khas dalam Light in August dan As I Lay Dying.

Pada periode awal abad ke-20 ini, penulis Amerika--dan yang nanti disebut sebagai penulis terbaik di Dunia--Ernest Hemmingway lahir. Melihat tahun aktif Hemmingway pada pertengahan abad ke-20, ia seakan tak memiliki tempat pada kesusastraan Amerika saat masa The Great Depression dan southern literature.

Kehidupan pribadinya ketika ia ikut pada Perang Dunia sebagai supir ambulans memberi tempat yang pengalaman penting bagi dirinya. Ia menjelajah Eropa pada masa-masa perang dan karya-karyanya yang kuat seperti A Farewell To Arms dan For Whom The Bell Tolls. Karyanya tidak menggaungkan nilai-nilai liris “selatan” saat gairah kepengarangan berusaha memperhatikan kehidupan masyarakat yang hidupnya diombang-ambing kelumpuhan ekonomi. Karyanya dianggap tidak dekat dengan konteks masyarakat Amerika sebelum dan saat menuju masa perang.

Di antara karyanya, Orang Tua dan Laut sering dianggap karya terbaik yang membuatnya mendapatkan Pullitzer setahun setelah karya itu diterbitkan dan juga membuatnya mendapat Hadiah Nobel. Karya itu lahir setelah dua dekade kelumpuhan ekonomi yang kritis menerjang Amerika dan pengalaman Perang Dunia. Di mana kekuatannya?

Hemmingway pernah berpendapat bahwa ia mengharapkan Karen Blixen yang justru memenangkan hadiah Nobel tahun itu untuk sebuah memoar tentang Afrika yang menurutnya lebih kontekstual dibanding karya-karyanya. Ia menganggap Orang Tua dan Laut yang saat itu digandrungi terlalu sederhana untuk mendapatkan hadiah-hadiah ini.

Orang Tua dan Laut adalah cerita singkat tentang seorang nelayan. Pada awal cerita, Santiago sang nelayan diceritakan masih bersahabat dengan mantan anak buah kapalnya, seorang bocah yang menaruh perhatian penuh pada Santiago. Si Bocah diharuskan meninggalkan Santiago oleh orang tuanya karena Santiago dianggap sudah seharusnya tidak lagi melaut karena terlalu tua. Si Bocah amat mengagumi Santiago karena Santiago banyak mengajarkan ilmu melaut dan memancing. Keduanya menghadirkan hubungan yang dekat dan memberikan banyak nilai tentang umur serta perjuangan. Metafora dan analogi yang kuat dapat dilihat dari kutipannya yang berikut:

“Mengapa lelaki tua bangun sangat awal? Apakah supaya bisa menikmati satu hari lebih lama lagi?” “Aku tidak tahu,” Kata si Bocah menjawab. “Yang Aku tahu adalah anak muda tidur larut, itupun dengan susah payah.”

Santiago adalah sosok nelayan tua yang masih gigih untuk bisa melaut dan menaklukan ikan-ikan besar. Hemmingway menggambarkannya dengan liris. Ia tinggal di sebuah gubuk di desa nelayan yang kumuh. Ia menggambarkan Santiago memiliki mata yang masih bersemangat. Mata yang telah puluhan tahun menjelajahi samudera. Mata yang belum juga tua.

Kisah sederhana ini hanya berputar pada Santiago dan kapalnya yang diceritakan bertemu seekor ikan marlin yang sangat besar pada petualangannya di kisah itu. Hemmingway menggambarkannya dengan sangat detil, persis seperti Herman Melville menggambarkan petualangan Pequod pada Moby Dick. Ia menggambarkan kurun waktu dan kejadian Santiago di atas kapal pada pengarungannya dengan hati-hati dari mulai Santiago yang mulai mengingat beberapa fragmen kehidupannya di atas kapal, hingga nantinya menemukan koneksi dengan ikan marlin yang sangat besar itu saat talinya tertarik. Hemmingway menggambarkannya dengan sangat hati-hati dan penuh tekanan. Untuk selanjutnya, di sinilah perjuangan Santiago menaklukan ikan marlin besar itu. Hemmingway menggambarkan Santiago dan hubungannya yang ia mulai dengan ikan marlin dengan Santiago yang mendamba si Bocah secara terus-menerus. Di sinilah kita akan mendapati Hemmingway berusaha menekankan bahwa Santiago sendirian di atas kapal. Hanya ada dirinya dan perasaan yang entah apa yang dibawa oleh pertarungannya dengan ikan itu.

Pada akhir cerita, Santiago berhasil menaklukkan ikan marlin itu hanya untuk beberapa saat. Ia tak bisa menaruhnya ke dalam kapalnya yang kecil dan hanya bisa menyeretnya di sisi kapal. Di sinilah tekanan lain muncul saat ikan hiu yang justru menggerogoti daging ikan marlin yang Santiago tangkap. Santiago sampai ke pantai hanya untuk membawa tulang ikan yang tak bernilai.

Apakah hanya kesedihan yang bisa ditawarkan Orang Tua dan Laut? Kita akan mendapati Santiago yang tua yang telah ditinggalkan oleh anak buah kapal yang terasa seperti anak sendiri baginya, berhasil menaklukan ikan marlin besar hanya untuk digerogoti ikan hiu.

Pada detik-detik menuju akhir cerita, Hemmingway menggambarkan sesuatu yang menarik:

“Apa itu?” ia bertanya pada seorang pelayan dan menunjuk tulang punggung panjang dari ikan raksasa yang sekarang telah menjadi sampah menunggu tersapu keluar oleh air pasang. “Tiburón, ” Pelayan itu menjawab. “Hiu.” Ia bermaksud menjelaskan kejadiannya. “Aku tak tahu ada hiu segagah ini dengan ekor yang dibentuk dengan indah.” “Aku juga tidak,” teman prianya menimpali.

Ia menyimpul kesalahpahaman dari orang awam yang berusaha melihat tulang-tulang ikan Santiago sebelum pada akhir kalimat dalam cerita disebutkan:

Di atas jalan, dalam gubuknya, lelaki tua itu tertidur lagi. Ia masih tertidur di atas wajahnya dan si Bocah duduk di dekatnya mengawasi lelaki tua itu bermimpi tentang singa-singa.

Ia menutupnya dengan antiklimaks. Apakah Santiago meninggal akibat kelelahan terombang-ambing berhari-hari dan menghadapi ikan marlin yang sangat besar? Yang kita tahu, Santiago bermimpi tentang singa-singa yang pernah ia lihat di Afrika saat Santiago masih muda. Kita mungkin hanya tahu bahwa Santiago mendambakan suatu waktu saat ia merasa kuat dan mampu. Saat Santiago masih kuat seperti hewan liar dengan hatinya yang gigih.

Dalam kisah Orang Tua dan Laut diceritakan Santiago sendirian saat memancing ikan marlin itu. Tak ada orang lain di sana. Tidak ada yang tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan ikan marlin yang bisa saja menguras tenaganya sampai ia mati. Tidak ada orang lain untuk menyaksikan perjuangan habis-habisannya. Tidak ada yang melihat pertaruhan itu. Ia hanya bisa pulang membawa sisa-sisa kemenangannya yang tidak akan dihargai oleh siapa pun.

Apa yang seharusnya dapat disimpulkan dari Orang Tua dan Laut yang ditulis tahun 1952? Jika melihat kurun waktu dan tempat, mari kita ingat kelumpuhan ekonomi dan depresi di Amerika serta luka perang menuju tahun 1950. Waktu-waktu itu adalah waktu yang penting untuk kembali mendefinisikan kembali kemanusiaan. Orang Tua dan Laut dianggap unggul karena gaya kepenulisan Ernest Hemmingway yang naratif pada Orang Tua dan Laut mengawali karya kontemporer saat itu. Di luar itu kita bisa merenungkan nilai kemanusiaan yang sederhana pada karya Hemmingway yang dianggap unggul itu. Terlepas dari isu besar tentang kelesuan ekonomi negara atau isu Perang Dunia, kita harus kembali pada orang-orang terdekat kita seperti Santiago yang mendamba si Bocah saat ia di atas kapal. Kita harus mempertanyakan kembali, bagaimana hubungan kita dengan alam?

Orang Tua dan Laut merenungkan nilai yang sederhana. Meski dianggap tidak kontekstual pada zamannya, Hemmingway ingin berusaha memberikan kisah yang merenungkan nilai lain saat kita memikirkan isu yang lebih besar. Apakah kita bisa sekuat Santiago? Apakah hubungan kita dengan dunia luar dapat sehebat hubungan Santiago dengan laut?

Setelah Hemmingway, banyak penulis muda yang turut menggaungkan nilai-nilai yang berangkat pada keseharian yang sederhana. Sebut saja Jack Kerouac dan karyanya On The Road yang menjadi pionir gairah Beat pada kesusastraan Amerika. Nilai-nilai penting yang ingin digaungkan tak berangkat pada isu besar seperti kehidupan bersama dan kemiskinan. Ia berusaha mencari nilai-nilai lain. Semangat kebaruan dan perenungan nilai-nilai lain menjadi warisan penting setelah Ernest Hemmingway dan Orang Tua dan Laut.

what do you think of this post?

bottom of page