(CERPEN) "Ruang Simulakrum"
Ditulis oleh Diazca Adizsa
Karya lainnya dapat dibaca di http://steller.co/diazcadizsa
_________________________________________________
“Imaginations will set you free from the prison of your agony.”
Reverie – L’Alphalpha
Ruang Simulakrum
Sebagian dari kalian mungkin pernah mendengar kata yang sebentar lagi akan aku sebutkan. Mungkin juga, sebagian dari kalian baru pertama kali menemui kata ini. Tak jadi masalah, karena hari ini aku akan membawamu masuk, menelusuri sudut demi sudut kata tersebut.
Simulakrum.
Ya, aku akan mengajakmu masuk ke dalam sebuah ruang simulakrum. Aku akan mengajakmu memahami apa arti dari ruang tersebut, dan mengapa ia sangat melekat pada diri setiap orang, termasuk kamu.
Bersiaplah, kau akan merasakan sedikit turbulensi.
Namanya Ainun. Gadis periang, murah senyum, dan memiliki wajah cantik rupawan.
Setidaknya dulu, saat ia masih remaja.
Ainun sekarang menjalani hidup dengan umur yang hampir menyentuh angka tiga. Wajahnya tak lagi mencerminkan pelangi yang berwarna-warni itu. Kini, matanya selalu dihiasi dengan lingkaran hitam besar yang semakin terlihat signifikan semenjak rahang pipinya mengecil. Senyuman manis sudah lama hilang dari permukaan wajah gadis ini.
Tak ada yang tahu mengapa Ainun berubah drastis. Mungkin karena hidupnya yang berat. Satu masalah selesai, masalah lain datang menyerbu. Mungkin juga karena ia belum memiliki pendamping hidup. Ah, tapi kan dia belum genap 30, bukankah masih wajar untuk hidup sendiri, tanpa pasangan?
Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ainun, namun semua orang merasa iba. Semua orang merasa kasihan. Banyak yang ingin menjulurkan tangan untuk membantu – membelikan Ainun makan siang, mengajaknya pergi jalan-jalan, membelikan baju baru, bahkan meminjamkan uang tunai – banyak yang ingin menghibur Ainun dan mengembalikan pelangi ke dalam wajah gadis ini.
Namun tidakkah mereka mengerti? Tidakkah mereka menyadari? Memang, mungkin, Ainun tidak memiliki uang. Kondisi ekonomi keluarganya menjadi semakin parah semenjak Ayah tirinya meninggal dunia – Sang Ibu menjadi gila karena ditinggal mati oleh suami untuk kedua kalinya – namun tidakkah mereka mengerti? Tidakkah mereka menyadari, bahwa bukan materi yang Ainun ingin miliki?
Ainun, Ainun... Kasihan sekali kamu. Sudahlah, tak usah dengarkan mereka. Jangan mau dipandang sebelah mata, jangan mau diberi belas kasihan.
Ainun, Ainun... Lebih baik kamu mengunci diri di sini, di ruang simulakrum milikmu, karena bukankah di sini kau merasa bahagia? Bukankah di sini kau menemukan tentram, Ainun?
Malam itu dingin, seperti biasanya. Ainun sedang duduk bersandar pada sebuah bangku tua di depan rumahnya. Ia bersyukur karena belum diusir dari rumahnya sendiri – walaupun mungkin, dalam beberapa hari, hal itu akan terjadi – maka ia selalu sempatkan diri untuk menikmati tiap sudut rumah ini. Bangku kayu di teras adalah tempat kesukaannya.
Di kamar, sang Ibu sudah tertidur lelap. Lelah karena menangis sepanjang hari. Sudah lewat 100 hari sejak kematian suami keduanya – 6 tahun lebih setelah yang pertama – namun memang malang sekali nasib wanita itu, hidup baginya sudah tiada guna. Bekerja pun tidak, menyusahkan Ainun saja. Yang dilakukannya setiap hari hanyalah menangis, menangis, menangis, mengutuk entah siapa yang menabrak suaminya, lalu kembali menangis. Malang sekali, malang sekali.
Ainun tak ingin menjadi seperti sang Ibunda. Ia sudah cukup terpukul ketika ayah kandungnya meninggal dunia, 6 tahun lalu karena serangan jantung. Ia tak ingin merasakan rasa sakit itu lagi, ia tak ingin membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan lagi.
Lagipula, jika di luar sana ada kebahagiaan yang sesungguhnya, mengapa harus bersedih?
Jika di luar sana ada suatu titik dimana imajinasi bisa melebur dengan kehidupan nyata, mengapa harus tinggal di sini? Di sana, dia bisa mendapatkan apa saja yang ia mau. Ayah kandungnya? Sedang merokok di teras rumah, masih hidup sehat wal afiat. Ayah tirinya? Masih di jalan pulang, menelusuri jalan raya yang kosong tanpa motor kebut-kebutan, dan akan tiba di rumah sebentar lagi. Ibunya? Sedang memasak di dapur, masakan kesukaan Ainun – ayam rica rica – sambil bersenandung lagu dangdut yang didengarnya di TV semalam.
Lihat, keluarganya lengkap. Bahkan di luar sana, saat ia bercermin dan memandangi wajahnya sendiri, ia mendapati dirinya tersenyum. Wajahnya kembali riang. Lingkaran hitam di bawah matanya sudah hilang. Pelangi kembali kepada dirinya, ia menjadi Ainun yang sesungguhnya!
Ah, di sana ia memiliki segalanya, lalu buat apa bersedih? Buat apa mendengar kata-kata orang, yang tiap kali berjalan melewatinya, selalu berbisik terhadap satu sama lain dengan tatapan iba, “kasihan sekali Ainun, ditinggal ayah dua kali, ibunya jadi gila, uangnya habis, hutang menumpuk.” – Buat apa?
Bukankah lebih baik ia memejamkan mata, lalu membiarkan dirinya merasakan kebahagiaan lagi?
Ainun, Ainun... Bijaknya kamu. Ayo, masuk ke dalam ruang simulakrummu. Pejamkan matamu, dengarlah suara desiran angin yang kini membawamu terbang tinggi.
Lalu rasakanlah, kau sudah tiba di dunia baru.
“Selamat datang di ruang simulakrum.”
Sst.
Ini bukan akhir dari kisah Ainun, tapi aku akan menceritakan kepadamu sisanya secara singkat.
Tak lama setelah malam itu, Ainun dan ibunya benar-benar diusir dari rumah. Akibat belum bayar cicilan. Mereka terpaksa menumpang di rumah tetangga – pasangan suami istri dengan satu anak bayi - yang kebetulan berhati tulus dan baik, rela meminjamkan satu kamar kepada dua wanita tersebut karena kasihan.
Sang istri pemilik rumah perlahan mendapati sifat Ainun yang aneh. Kalau ibu Ainun, memang sudah dipandang gila. Tapi perlahan, pemilik rumah semakin menyadari perilaku Ainun yang tak wajar. Yang benar saja, masa tiba-tiba Ainun bertanya dimana Ayahnya? Ingin menjawab sudah mati, tidak sopan. Tapi Ainun masih kekeuh bertanya. “Mana ayah? Ini Ainun belikan rokok untuk Ayah, tapi kok Ayah nggak ada? Kalau Bapak sudah pulang? Katanya sebentar lagi pulang dari kantor? Mana Ayah? Mana Bapak?”
Tingkah laku Ainun – dan tingkah laku Ibunya yang memang sudah hampir gila itu – dipandang sangat tidak wajar oleh pemilik rumah dan warga sekitar. Alhasil, mereka mengirim ibu-anak ini rumah sakit jiwa dengan tuduhan depresi.
Bagi mereka semua, Ainun memang sudah gila. Tapi mereka tidak pernah melihat dari sudut pandang Ainun. Dia tidak gila – dunia itu nyata. Dunia dimana kedua ayahnya masih hidup dan ibunya masih ceria, dunia itu nyata! Tidakkah mereka mengerti?
Tidakkah kamu mengerti?
Sudah kubilang, kau akan merasakan sedikit turbulensi.
Tidak hanya Ainun, kau juga memiliki ruang simulakrummu sendiri. Kisah Ainun hanyalah contoh ekstrem tentang ruang simulakrum yang mampu membunuh orang secara perlahan. Ainun hanyalah satu contoh dari sekian banyak korban ruang simulakrum yang kejam, namun percayalah, kau lebih dari itu.
Kau adalah pengendali ruang simulakrummu. Jika sedang bersedih, tentu tidak ada salahnya melangkah masuk ke dalam ruang tersebut, namun ingatlah – imajinasi takkan bisa melebur dengan realita. Ruang simulakrum bukanlah mimpi, jangan pernah kau lipat gandakan. Ingat, kau bisa mengaturnya. Kau bisa masuk dan keluar sesuka hatimu, jangan seperti Ainun yang dikontrol oleh ruang tersebut.
Lagipula, ruang simulakrum bisa jadi pelarian yang membuat tenang,
namun bukankah kau masih punya Tuhan?