top of page

Menonton Woyzeck


Bertempat di Gedung Kesenian Jakarta, lakon Woyzeck dari Teater Pagupon berhasil dimaksimalkan selama dua hari pada 24—25 Februari. Pencetus Teater Pagupon, M. Yoesoev—sampe sekarang saya tidak tahu alasan kenapa huruf belakangnya menggunakan “v”—kembali turun menjadi sutradara. Lakon ini adalah lakon ke-96 Teater Pagupon dan menjadi lakon ketiga (sebelumnya Orkes Madun II atawa Umang-umang dan Sumur Tanpa Dasar) pada era milenium yang diasuh oleh M. Yoesoev. Woyzeck adalah naskah Jerman abad ke-19 karangan almarhum Georg Büchner dan dialihbahasakan oleh Drs. Muslich. Menurut wikipedia dan situs pintar sejenis, Woyzeck adalah salah satu lakon yang paling sering dimainkan di negeri asalnya.


Woyzeck (Risky Septian), seorang tentara berpangkat kopral nan lugu yang dihantui kegilaan psikisnya sendiri. Sifat sewajarnya, patuh, dan loyal terhadap kaptennya, bagaikan bumerang kencang yang siap menghancurkan kehidupan Woyzeck beserta istrinya, Marie (Greistina). Demi mendapatkan penghasilan tambahan untuk istri dan anaknya, Woyzeck rela melakukan pekerjaan kotor untuk sang Kapten (Ikhsan). Woyzeck juga menjadi bagian dari eksperimen dokter (Uti) yang mengharuskannya hanya memakan kacang sebagai bagian dari diet untuk melihat efeknya terhadap tubuh dan pikiran. Dialog nihilis dari Andres (Yudhistira) yang kerap menyudutkan Woyzeck, lagi-lagi membuat situasi kejiwaannya semakin kalut. Ditambah lagi, gunjingan Kapten, Dokter, maupun Andres yang mengatakan bahwa Marie telah main belakang dengan seorang Mayor (Johann) karena selalu ditinggal dinas oleh suaminya. Woyzeck semakin geram atas segalanya. Ia tidak dapat menerima kenyataan bahwa dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat Marie mendua. Dengan kekesalannya pada tingkat maksimal, Woyzeck tetap berusaha untuk kembali rujuk dengan Marie, tetapi naluri ketentaraannya ternyata lebih besar ketimbang rasa ingin berpaling bersama istrinya, sehingga Woyzeck menikam mati istrinya sendiri. Karma buruknya langsung mengintai. Tindakan naluriahnya membuat Woyzeck semakin disudutkan oleh lingkungannya sendiri. Hingga pada akhirnya ia mengalami psikosis maksimal.


Woyzeck merupakan cerita yang akan selalu relevan—menurut saya—untuk dimainkan kapan pun. Sang Sutradara yang selalu mengedepankan aspek surealis untuk menonjolkan dialog-dialog yang ada, kembali berhasil dimainkan dengan cukup baik dalam lakon kali ini. Dialog-dialog panjang, peran selipan, hingga masing-masing pemain yang dipaksa berani untuk bernyanyi di atas panggung merupakan kekuatan tersendiri dari lakon ini. Terlihat dari peran Pemandu Sirkus (Ahmad Bari) bersama monyet dan kuda dua kaki yang terkesan seperti selingan dalam lakon, ternyata—jika diperhatikan baik-baik—tetap memiliki hubungan besar untuk menjunjung plot besar cerita, khususnya untuk Woyzeck. Dasar-dasar keteateran yang mumpuni sudah tidak menjadi soal, terlihat dari beberapa veteran baik pemain, pemusik, setprop (di bawah naungan Abdul Khair) yang sudah lebih dari sekali ikut dalam produksi Teater Pagupon. Keseluruhan pementasan di atas panggung terlihat tidak bermasalah. Hanya saja, keluhan yang saya dengar datang dari manusia dibalik mixer, Firas, yang telah menjadi budak suara sekian lama. Ia mengeluhkan dekorasi fancy GKJ yang tidak berbanding lurus dengan perangkat suara di dalamnya. Suara yang dihasilkan oleh pemain tidak dapat keluar secara seimbang di beberapa sudut yang mengakibatkan belangnya suara yang keluar di bagian kiri dan kanan kursi penonton.

Dari semua kekurangan dan kelebihannya, semoga pementasan dari Teater Pagupon yang ke-97 dan seterusnya, dapat berlangsung lebih baik lagi.


“Bulan seperti pedang berlumuran darah. Apakah dunia juga akan dicengkeramnya?” - Woyzeck.



what do you think of this post?

bottom of page