(CERPEN) Petunjuk Panggung: Pemain Meniru Pose Model Setengah Bugil yang Dianggap Stunning Apabila D
Saya suka kamar mandi yang dingin. Keramik dindingnya putih. Ubin lantainya biru. Plafonnya... Hmm, tak penting warna plafonnya. Penuh dengan sarang laba-laba pun saya tak ambil pusing sebab jarang dagu ini didongakkan. Senangnya lurus saja memandang cermin yang besarnya bisa memantulkan lebih dari sebagian tubuh.
Tubuh saya serupa tubuh manusia lainnya. Warna kulit yang tak rata dari kepala sampai ujung kaki. Berpayudara dan vagina tertutup jembut sebagaimana ciri tubuh perempuan pada umumnya. Tak lolos dari gelambir lemak di beberapa titik sebab agama saya mengajarkan perempuannya untuk menutup hampir seluruh tubuh. Saya bebas dari peer presure untuk memakai rok mini, crop t-shirt, atau bikini. Saya bebas dari keinginan berolahraga demi memamerkan tubuh yang aduhai
But look at the mirror, girl! Bukan Gigi Hadid, Karlie Kloss, atau Dakota Johnson si pemeran film Fifty Shades of Grey. Tubuh saya bukan tubuh mereka, tapi hampir pasti tubuh saya bisa memancing birahi! Hihihi, tak sulit memancing laki-laki. Marja pun akhirnya bisa memancing Parang Jati. Bhisma mati di tangan Srikandi. Ordinary boys belong to ordinary girls, jadi tak perlu takut bakal jomblo sampai mati. Meski ekspektasi buatan media tak bisa kita penuhi, ekspektasi laki-laki untuk ejakulasi bisa kita telanjangi.
Tapi tubuh tak selalu tentang nafsu. Kamu jangan dulu belagu menghina saya mesum. Sungguhnya tubuh adalah mula dari segala yang tercipta. Iya, Tuhan-lah yang paling mula, tapi dengar dulu penjelasan saya. Penciptaan tubuh membuat manusia ada dan akhirnya terusir dari surga. Entah, deh, kalau soal Tuhan nggak feminis karena membuat perempuan identik dengan dosa dan kebodohan. Intinya, tubuh membuat jiwa kita memiliki kesadaran dan kesadaran inilah yang akhirnya menciptakan hal-hal selain dari alam semesta. Dan tubuh membuat saya berpikir, mengapa manusia suka membanggakan kepalsuan?
Saya, sebagaimana manusia lainnya, malas mandi. Tapi tak jua keluar dari kamar mandi bila belum lebih dari tiga puluh menit. Eh, mungkin itu kebiasaan buruk saya saja, sih. Saya tak lama menggosok kepala, payudara, atau paha. Saya lama berkaca. Berkaca seperti ini. Kan sudah saya jelaskan di awal, saya senang bila ada cermin di kamar mandi. Kamu tak menyimak?
Sungguhnya saya hanya butuhkan 10-15 menit untuk mandi, sisanya adalah kontemplasi diri. Tentang mengapa pribumi tak dilahirkan dengan hidung mancung. Tentang beragam bentuk mata. Tentang mengapa yang disenangi adalah perempuan penuh senyum dan laki-laki bermuka cool. Tentang bagaimana laki-laki begitu mencintai payudara dan vagina yang tak mereka punya, tetapi perempuan tak bisa-- lebih tepatnya tak boleh-- memuja penis yang mereka tak punya, sehingga akhirnya cuma laki-laki yang tahu cara memuaskan diri dan perempuan boleh berpuas diri menguasai teknik memalsukan orgasme. Beragam trik memalsukan orgasme ini yang membuat oplah majalah untuk wanita meningkat, bung! Juga tentang bagaimana ketelanjangan di kamar mandi membuat saya tenang. Tak ada jiwa yang tegang. Tak ada manusia bisa menghina. Tak ada ketakutan atas ketidaksempurnaan. Bahkan kadang rasanya tak ada Tuhan. Yang ada hanyalah pengampunan pada jiwa yang kesepian. Tentu pengampunan ini bersifat sementara sebab setelah berpakaian dan membuka pintu kamar mandi, yang ada hanyalah kepura-puraan. Tubuh ini adalah tempat pelacuran paling abadi. Melacur dengan bangganya pada masyarakat yang tak bisa menerima perbedaan. Maka setiap mandi adalah mandi besar. Setidaknya selama tiga puluh menit dari dua puluh empat jam saya bisa merasa lebih suci dari para penghafal ayat suci.
Tapi tentu saja saya adalah manusia biasa yang suka berbuat hina dan memelihara dosa. Who am I kidding? Menghayati ketuhanan membuat saya terkukung dalam kesalahan sebab Tuhan ada di mana-mana. Tuhan menjelma segala kasih yang terwujud di alam semesta. Saya tak peduli pada bagaimana limbah pabrik mencemari alam? Dosa! Saya tak peduli kalau fast fashion memanfaatkan rendahnya upah dan lemahnya perlindungan kaum buruh di negara berkembang? Dosa! Saya beli mobil meski bisa menggunakan kendaraan umum untuk mengurangi polusi udara? Dosa! Saya mengabaikan fakta bahwa banyak kasus ketidakadilan yang diabaikan, semata-mata karena saya tak pernah merasakan ketidakadilan tersebut? Dosa! Duh, Gusti! Kadang saya inginnya melupakanMu sebab dunia sudah begitu semrawut. Bagaimana cara mengaplikasikanMu di tengah dunia yang segala keterkaitannya ingin menghapuskan kekuasaanMu? Bahkan kasur tempat saya memulai dan menutup hari adalah dosa apabila saya asal membeli dan tak mengetahui apa saja yang manusia rusak pada proses pembuatan dan penjualannya!
Setidaknya saya memiliki jeda panjang ini untuk menjelma hampa. Tubuh adalah anugerah terindah yang pernah saya miliki. Ia bekerja otomatis di luar kesadaran. Saya bisa mematikan diri untuk beberapa--tepatnya sembilan--enter tanpa harus menjadikannya aksi bunuh diri. Untung Tuhan tak menjadikan napas sebagai laku kesadaran seperti menulis atau mandi yang bisa kita mulai dan hentikan. Setidaknya saya punya Tuhan yang murah hati memberi kehampaan.
Sebentar.
Apakah Tuhan punya hati?
A i r
M e n g a l i r
S a m p a i
J a u h
A k h i r n y a
K e
L a u t
K a p a l
T a k
B e r t e d u h