(CERPEN) Pesawat Kaca
Dapat kurasakan darah mengalir perlahan dari pelipisku, melalui pipi lalu jatuh ke aspal. Kakiku masih berusaha untuk menopang tubuh setengah bernyawa ini. Di belakang, mobil tua itu terbakar dalam gumpalan asap pekat. Hitam dan mengerikan. Tanganku sakit, sepertinya karena menghantam aspal. Sayu-sayu aku melihat sekumpulan orang di depan. Mereka panik, beberapa sibuk menelepon, mungkin ambulans. Tapi waktu semakin menjauh dariku. Pesawatku akan pergi. Aku berlari, meski badanku seakan bisa terpisah kapan saja. Sakit sekali.
Saat aku melihatnya di ujung sana, aku merasa semakin sakit. Sedikit lagi, tinggal sedikit lagi, tapi dia tak lagi dalam jangkauanku. Air itu seakan menari-nari keji, dan tiba-tiba saja mereka sudah menelanku. Mendorong paru-paruku sampai batasnya. Aku...masih ingat betul semuanya. Kenangan-kenangan itu berkelebat di kepalaku, mungkinkah ini sesi dramatis yang dialami seseorang saat dia sekarat? Kalau begitu, sebelum berakhir, mari kita bernostalgia.
Pesawat, aku sangat menyukainya. Ketika aku melihatnya menyelinap di antara arakan awan, seakan dia bisa membawaku pergi sangat jauh. Menuju tempat baru, suasana baru, dan petualangan baru. Ayah dan ibu adalah dua pesawat istimewa yang membawaku melintasi kehidupan, tanpa mereka aku tidak akan bisa pergi ke mana-mana. Ketika ibu meninggal, usiaku baru 8 tahun, belum mengerti terlalu banyak, tapi yang kutahu pasti, hidupku tak akan pernah sama lagi. Satu peswat ku telah pergi. Sementara ayah, dia seharusnya lebih tangguh dariku, karena dia seorang pilot pesawat tempur, anggota militer. Dan kenyataannya justru dia yang paling hancur. Tapi dia mencoba bertahan, selama sepuluh tahun. Sampai akhirnya dia pergi, melebur dalam api keputusasaan. Orang-orang mengatakan bahwa dia bunuh diri dengan menabrakkan pesawat yang diterbangkannya dengan sebuah pesawat tanpa awak saat sesi latihan. Aku tidak mau mempercayainya, tapi mau dikata apa? Mungkin ayah memang sudah mencapai batasnya. Yang ditinggalkannya untukku hanyalah catatan kecil bertuliskan 'maaf' di atas meja makan. Peswatku pergi lagi. Meninggalkanku di daratan kecil yang diapit jurang dan tebing terjal, sendirian.
Selanjutnya aku menjadi sangat dekat dengan bunuh diri. Aku memang selalu memikirkan tentang itu setiap saat, hanya memikirkannya. Sesungguhnya aku takut mati. Meski begitu, aku tetap ditempatkan dalam sesi konsultasi kejiwaan rutin di rumah sakit jiwa. Tapi itu tidak sepenuhnya buruk, karena berkat konsultasi itu, aku bisa bertemu dengan Kenaan. Dia adalah teman kampusku. Dia orang yang ceria dan mempunya banyak teman. Tapi siapa sangka sejak 2 tahun lalu, dia menjadi anggota tetap konsultasi kejiwaan tingkat A1. Dengan kecenderungan bunuh diri sangat tinggi. Aku dan Kenaan menjadi sangat dekat, kini di daratan kecil itu aku tak lagi sendirian.
Beberapa perawat yang menyadari kedekatanku dan Kenaan sering kali berkata, “Apa jadinya bila dua orang yang ingin bunuh diri itu bersama? Bisa-bisa terjadi bunuh diri masal.” Lalu mereka tertawa seakan itu adalah lelucon terlucu di dunia. Menjengkelkan sekali. Tapi.. yah, mereka tidak perlu khawatir, karena semua itu tidak akan terjadi. Kenaan menolakku, ada wanita lain di hatinya. Dia hanya menanggapku teman. Aku tahu siapa wanita itu. Dia juga temanku. Ketika melihatnya dan Kenaan bersama, itu membuatku patah hati sekaligus senang. Kenapa? Karena saat bersama dengannya, Kenaan terlihat bahagia.
Kebahagiannya adalah yang utama, senyumannya menjadi prioritasku. Jadi aku berusaha untuk melepaskannya, sebagai rasa cintaku. Tapi...cinta yang tidak egois itu menyakitkan dan aku tidak setangguh itu. Maka aku memutuskan untuk pergi ke sisi daratan yang lain, menjauh darinya, menghilang dari pandangannya.
Aku memilih tinggal di negeri tetangga, memulai hidup baru dengan hati patah. Awalnya terasa sangat berat, aku tidak lagi bisa berkonsultasi saat jiwaku terasa hampir meledak. Dan sekali lagi, aku harus menangani semuanya sendirian. Aku kira aku hanya bisa bertahan beberapa minggu, namun di bulan kedua, aku mulai terbiasa dengan kehidupan baruku. Aku mulai kuliah lagi, mempunyai teman baru, dan yang paling penting, ternyata ayahku tidak bunuh diri. Seorang tukang bersih-bersih yang aku sewa untuk membersihkan rumah, menemukan dua buah catatan usang di bawah lemari di dekat meja makan. Itu dari ayah, mungkin catatan itu tertiup angin dan jatuh ke bawah lemari. Mengingat kipas angin menyala sangat kencang saat aku menemukan catatan sebelumnya. Bila semua catatan digabung akan membentuk sebuah pesan,
“Maaf aku akan berusaha menjadi ayah yang lebih baik. Aku mencintaimu”
Semua terasa menjadi semakin baik. Aku pulang sebentar ke rumah untuk mengurus pembersihan nama ayah. Orang-orang dari militer bilang, itu akan memakan waktu yang tidak sebentar, mengingat berita bunuh diri ayah sudah tersebar luas. Tapi tidak masalah, aku akan bersabar, berapa pun lamanya. Ini demi ayah.
Aku tidak memberitahu siapapun tentang kepulanganku, bahkan Kenaan. Lagipula, aku sudah mengganti semua kontakku saat aku memutuskan untuk pergi. Semuanya berjalan lancar dan baik-baik saja. Lalu, ketukan seperti orang kesetanan menghantui pagiku hari ini. Udara terasa lembab karena malam sebelumnya hujan turun sangat lebat. Dengan gamang aku pergi menuju pintu depan. Dan aku menemukan wanita itu, wanita yang dicintai Kenaan, berdiri dengan gemetar di depanku. Wajahnya pucat dan ketakutan, keringat membasahi seluruh bajunya. Ada apa ini?
"Mel? Bagaimana kau tahu aku ada di sini?"
Dia tidak menjawab pertanyaanku dan mulai bicara dengan nada hampir terisak, "Kenaan! Kumohon selamatkan dia Lea! Dia...dia bahkan tidak mendengarkanku! Aku mohon! Selamatkan dia!" Mel menceritakan semua yang terjadi sambil menangis. Dia bilang selama ini Kenaan berusaha menghubungiku, setiap saat. Aku sudah mengganti nomor ponselku, jadi aku tidak pernah tahu soal itu. Sejak kepergianku, Kenaan berhenti mengikuti konsultasi, bahkan dia berhenti tersenyum. Kemarin, saat di kampus, Kenaan tiba-tiba berkata,
"Kau baru akan tahu betapa berharganya sesuatu saat kau kehilangan dia. Dan aku benar-benar telah berbuat bodoh, Mel. Dia pergi karena aku telah menyakitinya."
Setelahnya, Kenaan sama sekali tak bisa dihubungi. Sampai pagi buta tadi, polisi menemukan Kenaan sedang berdiri di ujung pagar pembatas bendungan di kota. Hanya terdiam tanpa melakukan apapun. Pintu air bendungan sedang dibuka hari ini karena air naik terlalu cepat akibat hujan deras semalam. Hanya keajaiban yang dapat membuatmu tetap hidup bila terjatuh ke dalam ganasnya arus air itu. Dan aku tahu, Kenaan sama sekali tak mengharapkan keajaiban itu.
Aku mengendarai mobil tua milik ayah dengan kalut. Benakku penuh rasa bersalah dan ketakutan. Aku berpacu dengan waktu, berharap dapat sampai tepat waktu. Pikiran yang berantakan membuatku tidak ammpu berkonsentrasi penuh ke jalanan, aku menyalip sebuah truk di depanku dan tidak menyadari adanya pembatas jalan di sana. Aku menabraknya, lalu terpental keluar dari jendela depan mobil akibat hantaman luar biasa. Beberapa detik kemudian mobilku terbakar. Dengan badan penuh luka, aku berlari menuju bendungan--meski aku tidak yakin apakah aku benar-benar berlari. Aku hampir sampai, aku sudah bisa melihatnya. Namun sebelum aku benar-benar sampai, dia sudah melompat, membuat polisi dan semua orang yang ada di sana berteriak ngeri. Sedangkan aku tidak sempat berteriak. Tubuhku sudah terjun bebas menyusulnya. Kenaan jatuh lebih dulu ke dalam ganasnya arus air, aku menyusul beberapa detik setelahnya. Dan di sinilah aku sekarang. Memeluknya dengan erat, mengikuti ke mana arus ini akan membawa kami.
Oh, aku ingin sekali meminta maaf padanya. Seandainya dia tahu betapa aku merasa sangat bersalah karena membuatnya begini. Tapi, apakah kami akan mati begini? Tidak, tidak untuknya. Dia tidak boleh mati. Seharusnya, kami melakukannya dari dulu, saat masih ada kesempatan. Memanjat tebing terjal itu bersama untuk meraih hidup yang lebih baik. Tapi sekarang sudah terlambat. Dua orang yang terjebak di daratan kecil yang diapit jurang dan tebing terjal akan segera mati karena pijakan mereka mulai runtuh. Mustahil keduanya bisa selamat kan? Salah satu harus berkorban, mendorong yang lain untuk mencapai puncak tebing. Karena itu, aku yang akan melakukannya. Tuhan, tolong bantu aku.
…
Tujuh jam setelah Lea dan Kenaan melakukan lompatan mencengangkan itu, polisi dan tim sar menemukan tubuh Kenaan tersangkut di salah satu batu di tengah sungai yang berjarak 20 km dari pintu bendungan. Dia selamat, mengalami hiportemia dan paru-parunya sedikit terisi air. Sisanya dia baik-baik saja. Tubuhnya mulus tanpa lecet, meski dia telah melalui berkilo-kilometer aliran sungai berbatu. Polisi berasumsi bahwa Lea yang telah melindunginya. Sayangnya, tubuh gadis itu tak pernah ditemukan. Setelah 10 hari pencarian melelahkan, tim sar menyerah. Lea dinyatakan tewas tenggelam.
Setelah kematiannya diumumkan, kampus lama Lea memberi penghormatan dengan mendedikasikan satu hari penuh untuk mengenangnya. Fotonya terpampang di aula kampus dengan ribuan karangan bunga mengelilinginya. Konsultan kejiwaannya menuliskan sebuah pesan di samping foto itu yang sempat Lea sampaikan di hari terakhir konsultasinya.
“Aku sempat berpikir, mungkin bunuh diri memang membuat semuanya lebih baik. Menghilangkan semua penderitaanku dalam sekejap dan mampu membebaskan jiwaku. Tapi, saat orang yang kucintai berpikiran sama, justru membuatku berubah pikiran. Bunuh diri itu sama sekali tidak baik. Itu adalah tindakan paling egois yang hanya dilakukan oleh pengecut yang tidak berani menghadapi masalahnya. Bunuh diri tidak akan menyelsaikan masalah, dia justru akan membawa kesedihan baru. Bagi orang-orang yang ditinggalkan. Jadi, bagi siapa pun yang masih berpikir untuk bunuh diri, coba buka mata kalian dan berpikirlah jernih. Masih banyak orang-orang yang mencintai kalian. Bila kalian merasa tidak sanggup lagi dalam menghadapi suatu masalah, bicaralah pada seseorang, teman, saudara, atau datanglah ke psikolog. Pasti suatu saat kalian akan menemukan solusi dari masalah kalian. Dan itu bukanlah bunuh diri.”
Pesan itu selanjutnya terus terpampang di pintu masuk rumah sakit di mana pesan itu tercipta.
Sementara, Kenaan terpuruk selama beberapa bulan, akhirnya dia benar-benar berhenti tersenyum. Dan ketika dia merasa agak lebih baik, dia memilih untuk menjadi relawan PBB. Menghabiskan tiap hari dalam hidupnya di negara-negara konflik. Menenggelamkan diri dalam deru peperangan. Dia berjanji untuk menjaga hatinya hanya untuk gadis itu. Terus seperti itu, sampai dia menemukan kembali cintanya yang hilang. Suatu hari, di suatu tempat yang amat jauh.
"Kenaan, kamu seperti sebuah pesawat kaca. Karena kamu rapuh, namun sangat indah. Sudah lama aku ingin mengatakannya, maukah kamu jadi pesawatku? Dan kita akan pergi jauh dari sini."
Maka dia, bisa kembali tersenyum. Setelah bertahun-tahun.