(CERPEN) Perangai
Sepi. Malam itu juga bergelimang rintik air dari langit. Tidak deras tidak gerimis. Beberapa titik di jalan-jalan kota membentuk genangan air. Sebuah mobil melaju melintasi satu genangan hingga airnya menyembur ke kanan dan kirinya. Air itu tidak mengenai siapa-siapa kecuali udara dingin yang menemani jalanan kota yang hampir kosong. Bahkan untuk kota se-metropolitan ini pun jika sudah jam 12 malam jalanan akan sepi dari lalu lalang mobil. Dan warga-warga serta copet-copet kota bisa tidur dengan tenang di rumah masing-masing tanpa diganggu suara lalu lintas yang berisik. Namun tidak bagi Anang. Ia baru saja menyiprati trotoar dengan mobilnya yang melaju kencang. Anang mengendarai mobilnya ditemani musik dari radio. Ia memiliki potongan rambut yang rapi dan klimis ala karyawan kantoran. Bagian atas rambutnya tebal dibelah pinggir dan tipis di bagian bawahnya. Dari jendela mobil terlihat ia memakai jaket hitam berkerah kemeja putih dan dasi merah. Seluruh badannya basah karena tadi sempat kehujanan. Matanya tajam menatap jalan. Meskipun alunan musik yang menemani begitu indah dan menggairahkan, Anang merasa lelah. Anang ingin cepat pulang.
Baru pulang lembur: kebiasaan kerja yang hampir rutin dialami oleh setiap karyawan kantoran bisa jadi pikiran yang terlintas di kepala preman-preman yang sedang berteduh di halte bus sambil masing-masing memegang kaleng cat semprot, kumpulan bapak-bapak yang sedang nongkrong di warung kopi pinggir jalan, ataupun pengemudi-pengemudi lain di jalan ketika melihat sebuah mobil hatchback melaju jam segini dikendarai pria berkemeja putih dan dasi di malam Selasa. Melihat dari jam kerjanya yang lama ini orang-orang beranggapan bahwa ia suatu saat akan sukses. Namun sebenarnya, kenyatannya justru terbalik.
“Untuk kaula muda yang stay up late malam hari ini kami menawarkan kompilasi musik-musik top chart techno, dance, dan hip-hop untuk menemani kamu menikmati gemerlap kota malam ini. Ayo guys request lagu favorit kalian karena sayang banget kalo kalian ga ngerayain mimpi dan harapan kalian yang terwujud di kota ini tanpa musik-musik yang keren!”
Anang tertawa sinis “Haha. Kota. Mimpi.” Seakan si penyiar radio baru saja mencemooh mimpinya yang pecah tersenggol oleh uang dan kewajiban. Ia harus merelakan profesi yang disenanginya untuk sebuah pekerjaan lain. Mimpi menjadi kabur jika sudah masuk ke kota, terutama kota sesuram ini, karena terhalang sekat-sekat janji omong kosong tentang kesempatan oleh kaum-kaum kapitalis. Apalagi jika mimpimu senaif "melakukan apa yang kau cintai, dan cintai apa yang kau lakukan". Konsep itu abstrak, dan tidak bisa disandingkan dengan wujud nyata monumen-monumen kemegahan dan kemapanan yang menantang langit tersebut.
Pekerjaan Anang sekarang sebagai karyawan call center perusahaan telekomunikasi menemui jalan buntu. Tujuh tahun bekerja di perusahaan itu, tidak naik jabatannya dan gajinya pas-pasan. Malah delapan tahun sebelumnya Anang memiliki pekerjaan yang sama di perusahaan jasa pengiriman barang namun gajinya lebih kecil dari yang sekarang. Mengapa tidak mencari pekerjaan lain saja? Karena tidak mempunyai keterampilan lain. Setidaknya itu yang ia pikir terhadap dirinya sendiri. Tahun-tahun belakangan ini, Anang tidak mampu berbuat apa-apa pada dirinya sendiri kecuali merendah diri. Anang sudah tidak melihat potensi lagi dalam dirinya untuk menjadi lebih baik. Ia telah menyerah pada uang dan kewajiban. Mimpinya pun telah lama hancur.
Anang tidak selalu tinggal di kota ini. Anang berasal dari sebuah desa kecil yang sangat jauh dari kota. Masa kecilnya dipenuhi dengan ambisi dan impian yang besar. Anang kecil ingin menjadi fotografer karena suatu hari ia pernah melihat seorang fotografer sedang memotret petani di desanya. Namun karena sadar ia juga merupakan anak petani dan akan sulit membeli sebuah kamera, ia beralih ingin menjadi seniman. Setidaknya ia bisa menangkap keindahan lewat sebuah gambar, pikirnya. Sejak itu, ia menjadi rajin latihan menggambar dengan pensil dan kertas yang ia punya. Sepanjang masa kecil hingga remajanya Anang habiskan sebagian waktunya untuk menggambar. Ia akan menggambar apa saja yang dilihatnya. Pohon, rumah, alat-alat makan di rumahnya, sawah, kambing ternaknya, hingga wajah ayahnya atau teman-temannya. Hasil gambarnya pun tidak mengecewakan. Ayah dan teman-teman Anang seringkali merasa puas dengan hasil gambarnya. Ternyata Anang dianugerahi bakat alami. Seandainya ia memiliki perlengkapan seniman sebenarnya, seperti kanvas, kuas, cat minyak, dan mungkin rambut gondrong pikirnya, ia akan bisa lebih menghayati keseniannya. Suatu hari, ia akan melukis keindahan desanya yang bisa ia lihat dari atas bukit. Bukit yang letaknya tak jauh dari rumahnya tempat ia biasa bermain dengan teman-temannya atau hanya sekedar melihat pemandangan desa. Hamparan sawah dan kebun yang hijau, rumah-rumah yang sangat kecil, barisan pegunungan di kejauhan, serta langit biru cerah. Anang akan lukis semua itu dan berharap hasil lukisannya bisa dipamerkan di semacam pameran seni. Anang benar-benar bertekad ingin menjadikan bakatnya sebuah profesi.
Namun sayangnya ketika Anang dewasa, ayahnya tidak dapat mendukung keinginannya. Keluarganya berada dalam keadaan terpuruk secara ekonomi. Penghasilan ayahnya sebagai petani tidak cukup untuk menyekolahkan anaknya di sekolah seni. Jangankan sekolah seni. Untuk menyekolahkan di universitas negeri saja tidak mampu. Ditambah ibu Anang meninggal ketika ia masih kecil. Tidak ada lagi yang dapat membantu menanggung biaya kelangsungan hidup keluarga. Ayahnya adalah seorang pria tua berumur 50 tahun yang mudah kelelahan. Selama ini Ayah bepergian ke mana-mana menggunakan sepeda, Ayah tidak mempunyai traktor diesel, hanya punya dua ekor kerbau untuk membajak sawah dan ia tidak memiliki mesin penggiling padi. Karenanya, Ayah selalu merasa sangat penting untuk memperbaiki dulu keadaan ekonomi keluarganya. Ayahnya melarang Anang menggeluti seni dan menyuruh Anang merantau ke kota untuk mencari kesempatan yang lebih baik. Karena katanya kesempatan selalu terbuka dan banyak di kota besar. Namun kesempatan apa?
Anang yang tidak mengetahui apa yang dicarinya di kota pergi menjalani hari-hari perantauannya dengan berat hati. Ia merasa tidak memiliki keterampilan lain. Di luar bakat menggambarnya-menggambarnya, sebagai anak petani yang miskin Anang hanya pandai mencangkul, menanam, mengangkat barang, dan membajak sawah, yang jelas-jelas kemampuan itu tidak relevan jika diterapkan di kota. Namun Anang harus melakukannya. Ia tetap harus pergi ke kota. Karena bagaimanapun juga Anang adalah pemuda yang patuh pada orang tua.
Enam tahun pertama di kota Anang jalani dengan berganti-ganti pekerjaan dan tinggal dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Ia memilih pekerjaan-pekerjaan termudah yang terpikirkan olehnya. Anang pernah bekerja sebagai penjaga counter hp di mall, kasir minimarket, hingga penjaga warnet. Setiap awal-awal bekerja ia menjalaninya dengan niat. Gajinya cukup meringankan beban ayahnya di desa. Ayah akhirnya bisa membeli sebuah traktor diesel. Ayah merasa cukup bangga pada Anang namun bertitah ia pada anaknya bahwa Anang harus tetap lebih giat bekerja lagi karena mereka belum bisa membeli mesin giling dan sepeda motor.
Namun walaupun semudah yang dipikirkannya Anang tetap merasa tidak puas bekerja-kerja demikian. Ia tetap menginginkan menjadi seniman. Lama kelamaan, ia menjadi tidak menikmati pekerjaanya. Tak jarang Anang menjadi tidak acuh terhadap orang-orang di sekitarnya, teman kerja ataupun pelanggan. Bahkan menjadi kasar jika diganggu sedikit. Itulah sebabnya beberapa atasan di tempat-tempat kerja Anang memecatnya. Terakhir Anang dipecat dari pekerjaan sebagai kasir. Anang dipecat karena ia kelepasan marah kepada pelanggan dan dibantingnya belanjaan milik pelanggan tersebut ke lantai. Itu pun sebabnya karena ia habis kena sial juga. Ia kesal karena sehari sebelumnya ia kecopetan di dalam bus dan baru menyadari ketika pulang ke rumah kontrakannya. Anang kehilangan uang untuk membayar kontrakannya tersebut. Amarahnya tak sengaja ia lampiaskan di tempat kerjanya.
Kemudian Anang bekerja sebagai kuli barang elektronik di sebuah mall. Sebuah bangunan tak semegah mall kelas atas namun menjadi pusat elektronik dan gadget di kota itu. Ia bekerja pada satu toko yang menjual peralatan komputer. Setiap harinya ia mengangkut layar monitor, printer, cpu, dan sebagainya. Namun tanpa diketahui ayahnya tiap akhir pekan Anang akan libur dari pekerjaanya dan melakukan pekerjaan lain sebagai seniman jalanan. Ia membeli perlengkapan seninya dengan tabungan hasil dari pekerjaannya. Anang bekerja menggambar wajah orang dari sudut kota ke sudut kota. Dari satu tempat wisata ke tempat wisata lainnya. Banyak pelanggan yang puas dengan hasil karya Anang. Bahkan banyak pelanggan yang minta untuk digambar lagi lain kali. Beberapa bulan kemudian Anang membuang pekerjaannya sebagai kuli dan mulai menekuni penuh minatnya itu. Anang mulai merasa hidup ketika itu, biarpun penghasilan yang didapat tidak seberapa. Segala beban dan keluh kesahnya selama enam tahun menghilang. Sikap Anang terhadap orang-orang pun berubah menjadi hangat. Dengan pensil dan kertasnya ia menggambarkan keindahan dan keramahan orang-orang yang ditemuinya. Semua wajah yang digambarnya terlihat tentram dan bahagia. Seperti Anang menggambarkan suasana hatinya sendiri, karena pekerjaan itu ia lakukan dari hati. Tiga tahun sudah ia melakukannya di kota itu tanpa sepengetahuan Ayahnya di desa.
Semburan air menyiprati jendela sebelah kanan mobil Anang. Anang terbangun kaget dari lamunannya. Mobilnya sedang berhenti di depan lampu merah. Dilihatnya ke belakang ada tiga pembalap motor liar baru saja melintas. Anang hanya bisa melihat dengan kesal sambil berkata "Goblok!" Ia kembali melihat ke depan. Kemudian, Anang memasukan gigi satu ketika melihat lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Mobil kembali melaju. Ia sudah sampai di daerah pinggir kota. Hujan pun mulai berkurang derasnya.
Anang mulai mengganti-ganti saluran radio karena ia merasa bosan mendengar ketukan-ketukan yang monoton dan mudah ditebak dari musik dance keluaran tahun ini yang tadi diputar. Ia lebih suka mendengarkan Haji Rhoma berceramah tentang judi. Daripada mendengarkan musik tidak jelas ia pun berhenti di saluran radio berita. Segelintir peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di kota seharian dikabarkan. Kebanyakan kabar buruk. Pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, dan lain-lain.
“Selamat malam para pendengar, selamat datang di segmen berita tengah malam dan inilah rangkuman berita hari ini. Seorang perempuan berumur 20 tahun tewas dianiaya kekasihnya sendiri dikarenakan sang perempuan mengaku mengandung anak dari kekasihnya tersebut...”
“...berita lainnya seorang warga di kelurahan Grahajati menemukan mayat seorang wanita hanyut di pinggir sungai Kalideres pukul 23 tadi. Polisi datang 20 menit kemudian untuk mengidentifikasi mayat tersebut...”
“...para pengendara sepeda motor dianjurkan untuk berhati-hati ketika berkendara pada malam hari. Seorang pengendara motor dirampok di Jalan Ir. Soekarno. Pelaku perampokan berhasil kabur dengan membawa handphone dan dompet korban...”
“Ah, betapa cepatnya media informasi jaman sekarang mendapatkan berita,” kata Anang dalam hati. Wajahnya menyeringai menyindir kesuraman kota ini. “Kejadian yang baru sejam saja terjadinya langsung disiarkan. Memang kejahatan itu tiap menit selalu terjadi. Apa lagi di kota sialan seperti ini. Memang tidak ada sarang penyamun yang lebih besar dibanding kota metropolitan. Karena disinilah tempat semua harapan dan impian pupus dan dihancur remukkan. Hingga berakhir kepada keputusasaan dan kemurkaan. Dan membiarkan orang-orang putus asa dan marah itu tenggelam dalam gelap gemerlap kota. Telanjang sendiri di kegelapan. Berteriak dan tak ada yang mendengar.”
Seringainya berganti menjadi tatapan muram namun keras penuh kemarahan. Matanya tajam menghadap ke depan. Namun ingatannya bergerak ke belakang. Anang jadi teringat sebuah kabar terburuk dalam hidupnya. Tiga tahun setelah Anang berprofesi sebagai seniman jalanan, ayah mengetahui hal itu. Ayah murka dan dipukulah kepala anaknya. Hal itu terjadi ketika Anang pulang kampung. Ayah murka bukan hanya karena anaknya berbohong selama lima tahun, tapi juga karena Anang melakukan hal yang dianggapnya sia-sia. Anang sudah mencoba menjelaskan tapi Ayah tidak mau dengar. Ayah menganggap bahwa dengan menjadi seniman, Anang hanya membuang-buang waktu yang sebenarnya dapat Anang gunakan untuk mencari pekerjaan yang sesungguhnya. Tentu saja yang dimaksud ayah pekerjaan sesungguhnya adalah pekerjaan yang berpenghasilan besar dan berpotensi menaikan kedudukan sosial. “Seniman itu apa? Ga guna itu! Kerja buat cari uang yang banyak biar kamu bisa hidup tenang!” Marah ayahnya.
Anang sangat kecewa pada ayahnya. Tak ada yang lebih menyakitkan dibanding rasa sakit hati yang dirasakan Anang mendengar perkataan ayahnya itu. Rasa kesalnya hanya bisa nyangkut di tenggorokan kemudian ia telan lagi. Karena bagaimanapun Anang merasa tidak baik membantah ayahnya. Anang merasa seperti ayahnya menempeleng keluar bakat dan hasrat seninya hingga berhamburan keluar dari kepalanya. Tidak bisa dimasukan kembali. Sudah hilang keindahan dan keramahan pada dirinya. Hanya ada amarah. Namun mau bagaimana lagi. Titah ayah. Anang harus hidup dalam keterpaksaan lagi. Setelah melalui proses berpikir dan pertimbangan yang panjang, akhirnya Anang menentukan pekerjaan tetapnya sebagai karyawan call center. Karena setelah bertahun-tahun berpengalaman berinteraksi dengan pelanggan mungkin itu pekerjaan yang cocok untuknya. Butuh waktu beberapa bulan bagi Anang mempersiapkan diri. Hingga Anang diterima di perusahaan tempat ia bekerja selama delapan tahun, lalu pindah lagi ke tempat kerjanya yang sekarang. Dengan pekerjaan barunya, itu ia dapat membeli sebuah rumah yang sedikit lebih layak dari kontrakan-kontrakannya sebelumnya yang lebih murah. Rumah itu terletak di sebuah komplek perumahan kelas menengah di pinggir kota.
“Ayah, maafkan aku karena dalam hati aku marah padamu,” batin Anang. “Kau tidak seharusnya menarik pundak anakmu dari impian yang dikejarnya. Jangan kaget jika suatu saat aku sampai pada titik didih dan aku harus meluapkan segala kekesalanku padamu. Karena memang setiap orang memiliki batas kesabaran. Jika kau tidak tahu ayah, manusia memiliki titik dimana mereka tidak bisa membendung kemarahan, kekecewaan, dan bahkan kewarasan. Meskipun aku tahu selamanya kau tidak akan mengerti tentang impian seorang anak yang ingin kebebasan. Bagaimana kau bisa mengerti? Kau tumbuh dengan segala peraturan dan norma yang ketat yang diciptakan masyarakat dan keluargamu. Dan kau pikir dosa besar jika kau melanggarnya. Jangan salah ayah, aku pun juga menjunjung tinggi norma-norma yang kau ajarkan padaku. Namun ada beberapa hal dimana seseorang berhak menentukan pilihannya sendiri, ayah. Tidak selamanya seorang anak bisa menuruti kata orang tua. Tapi tetap kuakui bahwa tanpa tuturmu aku tidak akan bisa bertahan hidup disini. Kini, penghasilanku lebih besar dari penghasilanku dari pekerjaan-pekerjaan sebelumnya. Tetangga-tetangga semua mengakuiku sebagai orang mapan. Cukup mapan untuk menghidupi istri dan anak perempuanku yang tak tahu terima kasih. Kau lihat ayah? Berkatmu aku bisa bertahan hidup. Namun bisakah kau lihat jika aku bahagia atau tidak?”
Anang bertemu calon istrinya pada suatu akhir pekan 16 tahun yang lalu di taman hiburan kota. Waktu itu Anang menggambar wajah seorang wanita cantik. Setelah selesai, wanita itu tidak hanya membayarnya, namun juga menanyakan nomor telpon Anang. Katanya untuk kalau-kalau ia atau teman dan keluarganya minta digambar juga. Berawal dari interaksi itu, mereka berdua menjadi sering bertemu. Anang sering dipanggil wanita itu untuk menggambar teman dan keluarganya. Si Wanita waktu itu memang terbilang sangat ramah dan baik. Ia berasal dari sebuah keluarga yang terdiri dari dua orang tua dan dua orang anak perempuan. Wanita itu anak pertama, sedangkan adiknya kala itu masih SMA. Keluarganya termasuk keluarga yang berkecukupan. Ayahnya memiliki sebuah restoran di tengah kota, sedangkan ibunya memiliki sebuah apotik.
Setelah menggambar, Anang akan mengajak wanita itu pergi bersama untuk makan-makan atau sekedar jalan-jalan. Si wanita tertarik pada betapa kebahagiaan dalam diri Anang timbul hanya dengan menggambar. Ia merasa bahwa Anang berbeda dari pria lain. Singkat cerita, mereka jatuh cinta, berpacaran, lalu menikah setahun kemudian setelah Anang mendapatkan “pekerjaan yang sesungguhnya”.
Istrinya bekerja sebagai penjual pakaian wanita. Ia mendesain sendiri pakaian-pakaiannya. Di tahun pertama menikah istrinya berjualan di rumah karena belum memiliki modal yang besar. Modal tersebut berasal dari keluarganya dan Anang. Anang memang suka berbaik hati memberi uangnya kepada Si Istri demi kebutuhan apapun. Selain berjualan di rumah, Si Istri juga berjualan lewat dunia maya. Pelanggan-pelanggannya biasanya adalah tetangganya sendiri. Menurut mereka, pakaian-pakaian yang dibuatnya sangat menarik. Karena itu, banyak tetangga yang mengaguminya. Kadang ada juga beberapa pembeli dari luar kota yang menemukan pakaian dagangannnya di internet.
Sekitar lima tahun setelah mereka menikah, ayah Si Istri meninggal dan ia sebagai anak pertama mendapat sebagian warisan ayahnya. Walaupun hanya sebagian namun cukup besar jumlahnya membuat usaha pakaiannya berkembang menjadi lebih besar. Si Istri menyewa ruko di tengah kota untuk memperbesar usahanya. Pakaian dagangannya pun tak kalah lebih menarik dari sebelumnya dengan lebih banyak warna, corak, motif dan variasi. Dan melalui promosi-promosi via media sosial yang begitu pesat, toko baju tersebut menjadi sangat ramai pembeli. Keuntungan Si Istri menjadi berlipat ganda. Membuat ia berpenghasilan lebih besar daripada Anang. Si Istri mampu membeli barang-barangnya sendiri tanpa meminta uang dari Anang lagi. Bahkan sebenarnya mobil yang dikendarai Anang bukan mobilnya sendiri, tapi mobil istrinya.
Sekian lama setelah kesuksesannya, Si Istri menjadi besar kepala. Ia sampai menganggap bahwa dialah tulang punggung rumah tangga sekarang karena ia lebih bisa menghidupi keluarga daripada Anang. Semenjak usahanya menjadi sukses, Si Istri berubah menjadi boros dan suka berfoya-foya. Karena ia merasa berhak juga untuk menggunakan uang hasil jerih payahnya sesukanya. Namun suatu ketika karena keborosannya, mereka menghadapi masalah ekonomi. Usaha Si Istri perlahan-lahan meredup. Keuntungannya tiap bulan menurun. Anang dan Istrinya menjadi sering bertengkar. Mereka saling menyalahkan.
Anang memijat keningnya. Ia suka pusing jika mengingat pertengkaran tak berujung itu. Pusing memikirkan bagaimana cerewet, bodoh, tidak mau mengalah, dan tak tahu terima kasihnya wanita itu.
“Brengsek! Dia pake menyeret aku segala dalam keterpurukan ini.” keluhnya dalam hati. “Sudah jelas-jelas wanita jalang itu yang suka menghambur-hamburkan duit sesukanya. Beli tas lah, baju lah, hape, mobil, ke mall, dinner, kenapa malah aku yang disalahkan. Malah aku yang disuruh kerja lebih keras lagi. Dibilang aku yang terlalu menghambur-hamburkan uang dan itu pun aku hanya beli laptop murah untuk keperluan kerja. Jelas sekali ia hanya menjadikan itu alasan untuk menyalahkan aku. Justru biarpun penghasilanku kecil aku yang selalu menabung uangku untuk kebutuhan hidup kita. Tapi malah ia pinjam terus untuk modal usahanya. Akhirnya malah usahanya dia yang amburadul, managemennya ga bener. Yang punya kebanyakan riya."
Anang mencengkeram kemudinya. Wajahnya bertambah bengis seraya ia mengingat kembali kekesalannya pada istrinya.
"Diapun tidak tahu malu yang harus aku tanggung ketika melihat tetangga. Aku tahu bahwa pertengkaran kami kedengaran sampai keluar rumah dan para tetangga tidak sengaja mendengarnya. Aku tahu di balik senyum mereka, mereka tak hanya menyimpan keprihatinan, namun juga prasangka pada keluargaku. Pernah aku menguping pembicaraan mereka di pos ronda. Aku tahu mereka mencap istriku sebagai cewek matre tukang porot suami. Dan aku dicap sebagai suami payah yang tidak bisa menangani istri. Aku pun tidak seharusnya memiliki pekerjaan ini. Padahal kalau bukan karena dia yang keceplosan memberi tau ayahku pekerjaan sampinganku waktu aku kenalkan dia ke ayah dulu, aku mungkin bisa meneruskan hobiku menjadi pekerjaan. Ya, aku seharusnya tidak pernah memaafkan dia. Jalang!”
Pusingnya bertambah. Anang harus berhenti berpikir dulu. Jika diteruskan, ia malah akan frustasi karena kesalnya akan berlanjut ke anak perempuannya yang berumur 15 tahun.
Waktu masih kecil memang ia anak yang manis dan baik. Semakin ia remaja dan semakin terpuruknya rumah tangga semakin ia mirip dengan ibunya. Perempuan yang cerewet, bodoh, tidak mau mengalah, dan tak tahu terima kasih. Menyalahkan semua kepada kepala keluarga. Dia menyalahkan Anang karena Anang tidak punya uang untuk membelikannya baju. Tidak punya uang untuk biaya makan dan main bersama teman-temannya. Menyalahkan Anang atas terpuruknya keuangan keluarga. Sedangkan menurut Anang, dia merasa anaknya belum layak menerima uang jajan seenaknya. Karena di kelas pun anaknya bukan murid terpintar. Nilai ujiannya selalu jelek. Sedangkan setiap hari sudah diingatkan untuk selalu belajar. Jadi buat apa Anang memberikan anaknya apa yang ia mau? Tetapi ibunya malah terus memanja-manjakan anaknya. Semakin lama semakin anaknya berpihak kepada ibunya, dan semakin dia membenci Anang. Juga semakin ia melakukan apa yang dilarang Anang. Seperti pergi ke klub malam, dan berpacaran dengan dengan seorang cowok berandalan yang bahkan tidak sekolah.
Bagaimana Anang tidak sakit hati melihat sikap anaknya. Dan bagaimana ia tidak sakit hati mendengar tetangganya semakin membuat gosip tentang keluarganya. Tentang istrinya yang matre. Tentang anaknya yang rusak. Dan bagaimana mereka semakin mencap Anang sebagai ayah yang buruk. Sejak saat itu, Anang tahu bahwa selama ini dia hanya sendiri. Sendiri di kota ini. Sendiri di antara kerumunan ini. Sendiri dalam hidupnya yang perlahan hancur, menyusul impiannya yang telah lama mati.
Otak Anang menyerah untuk memikirkan itu lagi. Ini hari yang panjang dan melelahkan. Otaknya butuh istirahat. Ia tidak ada waktu lagi untuk meluapkan kekesalannya. Apalagi tadi setelah pulang kantor ia habis bertengkar lagi dengan istri dan anaknya di rumah. Kalau sampai teringat lagi bisa-bisa kepalanya meledak dan hancur tercerai berai mengotori seluruh interior mobil.
Tanpa terasa Anang mulai berkendara masuk perumahan dimana rumah tempat ia dan keluarganya tinggal. Ia mengendarai mobilnya melewati deretan rumah-rumah berukuran sedang. Satu atau dua lantai. Sudah habis rintik air dari langit. Anang mematikan wipernya. Di ujung jalan, tak jauh di atas cakrawala, ia bisa melihat gemerlap cahaya lampu dari deretan gedung-gedung tinggi yang jauh di kota. Pemandangan yang cukup menawan untuk mengakhiri hari yang panjang dan melelahkan. Ada perasaan lega dalam hati Anang karena hujan sudah reda dan sebentar lagi sampai rumah. Jika ia sudah sampai rumah, pusing dan frustasinya berkurang. Tinggal beberapa belokan lagi. Anang masih berkendara diiringi berita-berita dari radio.
“...terjadi perampokan toko emas di Jalan Jati jam satu siang tadi. Perampok terdiri dari 3 orang dan berkendaraan dua sepeda motor. Saksi mata juga menyebutkan bahwa perampok bersenjata api...”
“...sore tadi polisi dan BNN berhasil menemukan dan menggerebek rumah bandar narkoba yang sudah menjadi incaran BNN selama dua bulan. Polisi menahan 5 tersangka dan menyita barang bukti berupa sabu-sabu seberat 1 kg..."
“...kabar ini baru saja masuk, pendengar. Baru saja ditemukan lagi mayat di pinggir sungai Kalideres, namun kali ini adalah mayat seorang gadis remaja yang diperkirakan berusia 15 tahun. Mayat tersebut ditemukan oleh warga di kelurahan Pinang. Polisi mulai menyelidiki apakah ada keterkaitan antara mayat gadis remaja ini dengan mayat wanita dewasa yang ditemukan sebelumnya di kelurahan Grahajati...”
Anang sampai di depan rumahnya. Gerbang depan terbuka, jadi langsung dimasukannya saja mobil itu ke dalam garasi. Anang mematikan mesin dan melangkah keluar dari mobil. Seluruh pakaiannya basah kuyup dari atas hingga bawah, namun dari bagian betis hingga sepatu kotor karena lumpur.
Ia masuk ke dalam rumah, berjalan melalui ruang tamu lalu ke ruang tengah dengan masih memakai sepatu. Jejak kaki dari lumpur tercetak di lantai rumah. Seluruh isi ruang tengah berantakan. Meja dan kursi terbalik. Vas bunga dan gelas pecah berserakan di lantai. Terdengar bunyi “krak krak” tiap kali Anang melangkah. Sebuah laptop yang terbuat dari aluminium berwana perak pun tergeletak di lantai. Sudah agak bengkok akibat hantaman keras. Berlumuran darah di salah satu sudutnya. Ada dua cipratan darah juga terpercik di lantai. Anang terus berjalan ke dapur, lalu keluar lagi ke pekarangan belakang.
Gemerlap cahaya kota itu kembali terlihat di pekarangan belakang. Menjadi saksi ketika Anang membersihkan sisa lumpur di celananya dengan air dari selang. Kemudian menyiapkan alas dari atap seng di tengah pekarangannya. Anang membuka jaketnya. Terlihat bekas cipratan darah yang sudah agak pudar karena hujan di kerah bagian kanan, lengan kemeja kanan, dan bagian perutnya. Ia lempar semua pakaiannya ke atas seng. Kemeja, jaket, celana, sepatu, dasi, bahkan pakaian dalamnya. Lalu ia siram semuanya dengan minyak tanah, dan menyulutnya dengan api. Anang berdiri di depan api yang berkobar semakin besar. Telanjang dalam gelap. Anang menatap cahaya api unggun yang membakar dosanya yang sepadan. Lalu menatap gemerlap kota itu dari kejauhan yang berubah memuram. Dalam pikirannya yang sedikit mengawang-ngawang ia memikirkan bagaimana rencana kunjungannya ke rumah ayah di desa dalam 1 atau 2 hari berikutnya.