Girl-2-Girl Interview with Kezia Alaia
Halo, Kezia! Boleh cerita sedikit nggak, tentang siapa itu Kezia ke Kawan Ara? Terus, sekarang kesibukanmu apa, sih?
Kezia: Hai! Aku Kezia, tahun 2016 kemarin aku nulis buku kumpulan puisi berjudul Bicara Besar. Agustus kemarin aku lulus dari FISIP UI. Sejak lulus kemarin, kesibukanku magang di bawah Staf Khusus Komunikasi di Kantor Staf Kepresidenan, lalu baru aja selesai magang di sebuah konsultan manajemen global. Kalau sekarang, kebetulan lagi les acting, menerjemahkan sebuah buku bertema teknologi, mengisi seminar dan workshop penulisan, serta nulis buat proyek buku selanjutnya.
Menurut Kezia, ‘perempuan’ adalah?
Kezia: Manusia! Aku suka sekali melihat perempuan sebagai spektrum yang luas dan multidimensional. Perempuan bisa menjadi apa pun dan siapa pun yang mereka mau. Perempuan bukan seperangkat nilai moral atau gagasan ideal. Aku merasa perempuan sering disematkan dengan nilai-nilai “moral”, dianggap suci, atau diberi atribut yang seakan-akan meninggikan, padahal mengobjektivikasi atau melemahkan posisi perempuan. Ketika anak perempuan diajarkan bahwa perempuan adalah penjaga moral bangsa dan martabat keluarga, ia teralienasi dari dirinya sendiri saat ia mengalami pengalaman-pengalaman sebagai perempuan yang lebih berantakan, kasar, dan nyata--dan tidak melulu (atau tidak sama sekali) anggun, manis, dan sopan. Aku ingin semua perempuan nyaman dengan apa pun pengalaman keperempuanan mereka dan bisa mendefinisikan, serta mempraktikkan sendiri apa yang mereka rasa sebagai perempuan dan pengalaman sebagai perempuan.
Apa kamu punya buku favorit yang bercerita tentang perempuan/feminisme? Kenapa kamu suka buku itu?
Kezia: Banyak! Dan banyak buku yang aku suka yang bahkan belum selesai aku baca… Ada The Female Eunuch karya Germaine Greer yang, harus kuakui benar-benar keras dalam membedah feminisme ke bagian-bagian yang paling rinci. Meskipun aku masih bimbang sama beberapa opini Greer belakangan, terutama tentang kritiknya terhadap gerakan feminisme #MeToo, aku rasa Greer memberikan dasar yang sangat kuat pada zamannya dan tulisannya membakar api keberanian. Aku juga lagi baca The Beauty Myth-nya Naomi Wolf, buatku sangat berwawasan dalam mendekonstruksi mitos kecantikan, citra diri, dan perempuan. Juga The Second Sex. Pengennya, sih, lebih banyak baca buku dari feminis Asia, khususnya Asia Tenggara atau Indonesia, biar lebih terasa dekat pengalamannya. Kalau dari sastra Indonesia, favoritku adalah buku Ibu Mendulang Anak Berlari karya Cyntha Hariadi. Benar-benar mendobrak pemahaman aku tentang perempuan sebagai ibu, menjadi pelatuk bagi aku untuk merefleksikan pengalaman sebagai anak perempuan, membuatku berani mengeksplorasi sisi-sisi yang lebih mentah dan kacau tentang menjalankan peran-peran yang diberikan pada perempuan, dan melakukan deromantisasi terhadap hubungan ibu-anak.
Apa kamu punya penulis perempuan favorit? Siapa dan kenapa dia?
Kezia: Aku suka banyak penulis perempuan dengan cerita mereka yang berbeda-beda--dengan membaca berbagai narasi dari sudut pandang perempuan dari latar belakang yang beragam, aku belajar dari suara-suara nyata mengenai feminisme interseksional. Aku belajar bahwa pengalaman, perjuangan, dan identitas perempuan sangat beragam, dan perempuan mengalami opresi dengan yang bermacam-macam pula.
Kalau saat ini, ada beberapa penulis yang aku suka. Sebelumnya dan selanjutnya, daftar ini akan selalu berubah dan bertambah. Aku kagum membaca puisi Natalie Diaz yang bicara soal pengalamannya sebagai perempuan Mojave, penulis yang dengan sangat jujur dan spektakuler menggambarkan pengalaman kultural, personal, dan keluarganya. Coba baca puisinya “No More Cake Here” yang merefleksikan kecanduan crystal meth adik laki-lakinya dengan penuh imajinasi dan perayaan yang mengiris hati. Suka sekali gaya nulisnya. Simone de Beauvoir, karena ia sudah menuliskan untukku hal-hal yang aku rasakan jauh sebelum aku lahir dan membuatku merasa punya teman. Greta Gerwig--penulis naskah dan sutradara film Lady Bird--kuharap aku mendengar lebih banyak cerita tentang anak perempuan muda dengan permasalahannya seperti yang ia tulis dan visualisasikan, bener-bener suka cerita coming-of-age karena kalau aku cukup beruntung untuk membaca/nonton cerita seperti ini waktu aku remaja, pasti aku nggak akan bingung(-bingung amat) dalam melalui pertumbuhan dan perkembangan diri .
Menurutmu, dalam perkembangan literasi--khususnya di Indonesia--apakah perempuan sudah cukup banyak dilibatkan?
Kezia: Banyak perempuan yang melibatkan diri dan bergerak untuk mewujudkan literasi yang lebih baik bagi perempuan Indonesia dengan perannya masing-masing: penulis, penyair, penulis naskah, serta pegiat rumah belajar dan perpustakaan kecil. Aku mengapresiasi usaha besar maupun kecil yang dilakukan perempuan Indonesia untuk memupuk kebiasaan, kemampuan, dan kecintaan membaca bagi siapa pun.
Apa Kezia punya pendapat lain tentang perempuan dalam dunia sastra?
Kezia: Perempuan harus menulis--atau lebih dari itu, bercerita. Banyak cerita yang bisa dan harus disampaikan oleh perempuan tentang dirinya: pengalaman menstruasi, pubertas, menjadi ibu, tidak menjadi ibu, menyukai laki-laki, tidak menyukai laki-laki, menyukai dirinya, tidak menyukai dirinya. Kita perlu membaca lebih banyak pencerita perempuan dan cara-cara mereka bercerita tentang dunia yang mereka kenal di luar dan dalam diri mereka. Dengan membaca penulis perempuan, baik yang menulis tentang feminisme maupun tidak, kuharap aku jadi bisa mendengar suara perempuan sebagai narasi yang normal dan meluap mengisi saluran-saluran media, sehingga dunia tidak lagi dinarasikan dari sudut pandang satu dimensional saja. Selain itu, ketika perempuan aktif menulis dan membaca, ia menjadi biasa menggunakan bahasa. Dengan penguasaan terhadap bahasa, perempuan dapat menggunakannya untuk bercermin pada pengalamannya, dan untuk menjelajahi ruang-ruang dalam dirinya lebih dalam. Dengan penguasaan terhadap bahasa, perempuan merebut kembali hak atas diri, tubuh, dan suaranya sendiri.
Dari semua karya-karya Kezia, karya yang mana yang Kezia rekomendasikan untuk dibaca Kawan Ara yang perempuan? (Dan kenapa yang itu?)
Kezia: "Kantung Teh", "Lorong Tanpa Dinding", "Fientje", "Biar Aku!", "Baca Buku Itu Satu Lembar Saja", mungkin. Semuanya dari buku Bicara Besar. Sepertinya karena lima puisi itu bicara tentang keterbatasan.
QUICK CHALLENGE! Coba, dong, bikinin puisi singkat tentang perempuan untuk Kawan Ara!
Kezia:
The Body rose
to crimson foams;
the Bosom,
through
milkless flows
& bilking chrism,
Blossoms.
Ada pesan yang ingin disampaikan untuk para penulis perempuan--terutama yang muda-muda--nggak?
Kezia: Saat perempuan menulis--apa pun, sama sekali nggak harus menulis tentang feminisme atau isu perempuan secara spesifik, namun yang terpenting, menulis cerita yang ingin kita sampaikan--kita berkontribusi ke dalam semesta sastra yang lebih representatif dan reflektif. Tulislah tentang hal-hal yang kamu kenali, rasakan, alami, yang dekat denganmu--tentang rumah dan ketiadaan rumah, sepi dan ramai, kau dan orang-orang di sekitarmu, kau dan perasaan-perasaan di dalam dirimu--sehingga tulisanmu menjadi terapi, monumen, dan sahabat bagi dirimu dan perempuan lain.
Terima kasih udah mau bantu jawab pertanyaan Ara, Kezia! Semangat terus dalam berkarya!
Kezia: Terima kasih banyak, Ara! Sukses terus juga dan selamat Hari Perempuan Internasional!