top of page

Girl-2-Girl Interview with Amira Ruzuar (Sartika Cendekia)


Halo, Amira! Boleh cerita sedikit nggak, tentang apa itu Sartika Cendekia dan siapa itu Amira ke Kawan Ara? Terus, sekarang kesibukanmu apa, sih?


Amira: Halo, Kawan Ara! Aku dan dua temanku, Suci dan Mayang, membentuk Sartika Cendekia, sebuah komunitas belajar berbasis media sosial bagi para perempuan yang bermimpi melanjutkan pendidikan pascasarjana untuk saling berbagi pengalaman, mendukung, dan mendorong mencapai impiannya. Kami bertiga membentuk inisiatif ini saat kami sama-sama menjadi mahasiswi master di University College London, Inggris. Saat ini, tinggal aku sendiri yang masih berstatus sebagai mahasiswa, hehehe. Aku juga saat ini sedang membantu Magdalene.co, sebuah webmagazine feminis, sebagai peneliti magang.


Menurut Amira, ‘perempuan’ adalah?


Amira: Empu. Ada banyak cara mendefinisikan perempuan, tapi aku suka dengan definisi perempuan sebagai empu. Definisi ini memungkinkan setiap perempuan untuk mendefinisikan dirinya sendiri, sekaligus terus meredefinisi term ‘perempuan’ untuk mencakup keragaman pengalaman yang dihadapi masing-masing perempuan. Perempuan sebagai empu berarti bahwa perempuan menjadi tuan, pemilik, dan pemegang kuasa atas pilihan-pilihan dalam hidupnya, termasuk juga menggugat terbatasnya pilihan yang kerap diberikan kepada perempuan dan merebut lebih banyak pilihan yang berhak dimiliki perempuan. Perempuan sebagai empu juga berarti merayakan para ibu dan saudari perempuan yang berjuang meraih agency dan menjadi empu, mulai dari Ibu Kartini yang memperjuangkan kesetaraan pendidikan, Sanita Rini yang melawan pernikahan anak, hingga perempuan di sekitar kita yang sudah berhasil maupun masih berjuang menjadi empu atas hidupnya sendiri.


Apa kamu punya buku favorit yang bercerita tentang perempuan/feminisme? Kenapa kamu suka buku itu?


Amira: Aku suka Filsafat Berperspektif Feminis karya Gadis Arivia. Buku ini menunjukkan bahwa filsafat barat selama ini dituliskan dalam perspektif yang maskulin dan meminggirkan pengalaman, cara pandang, dan cara pikir perempuan. Padahal, pemikiran filsafat selama ini berpengaruh dalam melahirkan nilai-nilai keadilan, termasuk keadilan gender. Selain itu, buku ini juga memperkenalkan teori-teori filsafat yang berpihak terhadap perempuan, termasuk juga filsuf-filsuf perempuan yang tercatat sejak abad 600 sebelum masehi! Selain itu, aku juga suka buku tentang Kartini yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja. Sesungguhnya, aku belum selesai baca buku itu secara lengkap karena bacanya lompat-lompat! Aku suka penggambaran Pram mengenai Kartini sebagai empu, sebagai perempuan yang cerita hidupnya tidak melulu mengenai pingitan dan hambatan, namun mengenai perlawanan dan pencapaian.


Menurut Amira, ada nggak, sih, hubungan antara kebiasaan membaca/menulis dengan kualitas pendidikan masyarakat--terutama yang perempuan?


Amira: Ada! Perempuan adalah setengah dari jumlah populasi masyarakat. Kalau kesempatan meraih pendidikan sebebas-bebasnya hanya dimiliki setengah populasi, manfaat yang didapatkan dari pendidikan juga nggak bisa dinikmati oleh sebanyak mungkin elemen masyarakat, dong? Aku, Suci, dan Mayang membentuk Sartika Cendekia untuk mendobrak stigma bahwa perempuan nggak perlu pendidikan tinggi, atau bahwa pendidikan tinggi itu bukan bagian dari kebutuhan perempuan. Membaca, menulis, belajar, menjadi pintar, meneliti, mengajar, menggeluti sains, berfilsafat, menjadi profesor, melakukan apa saja, juga bisa menjadi bagian penting yang menjadikan perempuan seorang perempuan – mendefinisikan makna menjadi perempuan. Kebebasan berpendidikan bagi perempuan bisa jadi cara untuk perempuan meraih agency untuk jadi berdaya, dan perempuan berdaya akan memberdayakan perempuan lain dan masyarakatnya.


Memangnya seberapa tinggi, sih, urgensi perempuan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana?


Amira: Tau, nggak, sebetulnya sudah banyak banget perempuan Indonesia yang berani melanjutkan pendidikan pascasarjana, bahkan lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki yang mendaftar ke jenjang pascasarjana. Tapi, berita baiknya hanya sampai situ saja, karena kemudian tingkat kegagalan perempuan dalam menyelesaikan pendidikan pascasarjana jauh lebih tinggi ketimbang laki-laki. Keseteraan pendidikan bukan hanya tentang kesetaraan saat akan mengakses, tapi juga saat menempuh dan menyelesaikan pendidikan. Jadi, meskipun perempuan sudah bisa masuk ke jenjang pascasarjana tapi jika ternyata tingkat kegagalan perempuan masih tinggi, artinya masih ada ketimpangan, kan? Ketimpangan ini juga terjadi karena kakunya ekspektasi peran gender perempuan yang melulu hanya mengurusi ranah domestik, nggak ada tawar-menawar. Dampaknya, ketika perempuan memilih melanjutkan pendidikan pascasarjana, pilihannya ini dianggap sebagai pilihan egois dan tidak ada gunanya bagi peran domestik.


Nah, urgensi untuk perempuan melanjutkan pendidikan pascasarjana jadi tinggi karena budaya patriarki, budaya yang membatasi peran perempuan hanya di ranah domestik saja dan budaya yang mengenakan stigma pada perempuan berpendidikan tinggi ini perlu didobrak. Perempuan sebagai empu perlu merebut berbagai ruang yang sebelumnya tidak menerima perempuan, termasuk ruang-ruang kelas, laboratorium, meja konferensi, ruang dosen, dan ruang-ruang lainnya, dengan menempuh pendidikan pascasarjana. Jika semakin banyak perempuan yang bisa melanjutkan pendidikan pascasarjana, masyarakat akan melihat bahwa anggapan bahwa pendidikan pascasarjana bukan untuk perempuan menjadi tidak lagi relevan.


Apa Amira punya pendapat lain tentang pandangan orang terhadap perempuan dalam dunia pendidikan?


Amira: Banyak orang menganggap bahwa pendidikan yang ditempuh oleh perempuan harus bermanfaat bagi orang lain, bahwa pencapaian perempuan harus berdampak pada orang lain. Dalam berbagai kampanye kesetaraan gender, narasi yang digunakan juga masih banyak berkisar di manfaat kesetaraan gender bagi masyarakat ketimbang bagi sang perempuan sendiri, salah satu contohnya adalah narasi perempuan sebagai madrasah peradaban. Narasi ini baik, tetapi menurutku kita juga perlu mengedepankan narasi perempuan berhak meraih pendidikan untuk dirinya sendiri, untuk mengembangkan dirinya seluas-luasnya. Aku teringat pesan yang disampaikan oleh Saras Dewi, dosen Filsafat UI, dalam wawancara yang dilakukan Sartika Cendekia bulan September lalu, bahwa tidak ada yang salah dari perempuan yang berambisi mengejar mimpi, termasuk berambisi meraih pendidikan setinggi-tingginya.


Dari semua buku-buku tentang perempuan/feminisme yang pernah kamu baca, buku-buku mana yang esensial untuk Kawan Ara baca?


Amira: Aku ajak Suci dan Mayang untuk ikut menjawab pertanyaan ini, ya!


Aku merekomendasikan buku yang ditulis oleh Chimamanda Ngozi Adichie berjudul We Should All Be Feminists, yang juga merupakan adapatasi dari TEDx Talk yang dibawakan Chimamanda sendiri. Aku juga merekomendasikan Panggil Aku Kartini Saja karya Pram.


Sementara, Suci dan Mayang merekomendasikan Lean In karya Sheryl Sandberg, I Am Malala karya Malala Yousafzai dan Christina Lamb, serta Headstrong: 52 Women Who Changed Science – and the World karya Rachel Swaby.


QUICK CHALLENGE! Coba, dong, kasih Kawan Ara rekomendasi kampus (dalam dan luar negeri) yang oke dalam bidang susastra atau bahasa!


Amira: Dalam memilih kampus, pastikan pilihan mata kuliah, cakupan topik penelitian, dan koleksi pustaka yang ditawarkan sesuai dengan minatmu. Jaringan alumni juga bisa jadi poin yang patut dipertimbangkan jika kamu ingin memperluas network setelah lulus kuliah. Kampus yang oke adalah kampus manapun yang bisa bikin kamu merasa semangat dalam menjalani perkuliahan dan penelitian karena fasilitasnya mendukung minat dan kebutuhanmu. Jadi, cari sedetail mungkin, karena semua kembali ke minatmu!


Ada pesan yang ingin disampaikan untuk para perempuan--terutama yang ingin melanjutkan pendidikan pascasarjana--nggak?


Amira: Kamu nggak sendirian, ada banyak perempuan lain yang memiliki impian dan pengalaman yang serupa. Jangan ragu untuk menyuarakan pengalamanmu, mau itu pengalaman buruk, seperti impianmu yang dianggap remeh paman dan bibimu karena kamu sebagai perempuan dibilang tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, maupun pengalaman baik, seperti dukungan dari ayahmu yang ingin anak perempuannya mengutamakan pendidikan. Selain itu, rangkul dan dukung satu sama lain, karena perjuangan untuk mencapai kesetaraan nggak bisa dicapai sendiri-sendiri. Your sisters are here to support you, and in return, do support your sisters!


Terima kasih udah mau bantu jawab pertanyaan Ara, Amira! Semangat terus dalam menginspirasi!


what do you think of this post?

bottom of page