(PUISI) "Etalase"
Olga Koswanurfan Dianka, seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Kwik Kian Gie
Merindukan perempuan dalam puisi akrostik
__________________________________________________________________________
“Etalase” (A Sequel of “Reshalosophy”)
Prolog:
Suatu hari kita duduk berdampingan, menghirup udara malam di sisi pantai. Debur ombak tampak tenang, air laut seolah tidak sabar menyimak segala hal yang lekas diperbincangkan. Langit gemintang, menyelinap mata sepotong bulan, meneropong dari kejauhan. Semilir angin berembus merdu menepis keheningan, secara lemah-lembut dia membukakan gerbang percakapan.
Kau ungkapkan padaku, sejujurnya kalbumu membiru, hanyut tersapu arus kesendirian. Terpelanting membentur jeram kesenyapan, mendambakan kesediaan sang pangeran memanggulmu keluar dari himpitan kekeruhan menyesakkan. Pasca sekian lama tenggelam, tergulung gelombang kegusaran, “ke mana anak panahmu akhirnya menyasar?”.
Lantas kubalas luapan keluh-kesah itu dengan menyungging senyuman yang menitikkan keheranan. Pertanda jika jagat pikiranku meredam getar bersebrangan. Lalu, akar-akar ketidakterusterangan yang berkelindan membentuk belukar gersang pun, terkelupas perlahan, tak ragu kuluruhkan.
Aku mencintaimu,
layaknya seorang gelandangan,
mengagumi sepasang sepatu berlapis berlian
yang terpajang di rak kayu sebuah galeri tepi jalan.
Jangankan menyentuh, apalagi merengkuh,
menatap keindahannya pun,
tersekat jarak, terlumat waktu.
Tak jarang berberat hati aku meninggalkan,
saat umpatan nyalang,
beruntaikan pesan pengusiran datang menghadang.
Tanpa mereka pahami,
bila kita tengah bertukar pandang.
Kilau memukaumu berlesatan,
melintasi gemerlap sorot lampu.
Kau bernaung di balik bening kaca,
tak perlu terusik serpihan debu,
terlindung dari terik matahari,
serta rinai hujan yang membasahi kota
Sedang diriku,
terlahir sebagai sosok jelata berbalut pakaian lusuh.
Tubuhku bercucuran peluh,
kakiku beralas kulit telapak yang lepuh.
Terpanggang aspal bahang,
setiap kali kedua tungkaiku menyusuri getir kehidupan.
Kita dekat,
namun tidak rekat.
Kesan menawan yang tersadap,
lesap tiada meresap, lenyap menyesap gelap.
Ukiran dawat takdir kita sungguh berbeda,
tak akan pernah sama rata,
tak mampu serupa,
tak seujung kuku pun seiya sekata.
Sang Khalik menitahkanmu,
memancarkan keelokan yang mengundang puja-puji.
Sementara aku,
diutus-Nya memupus sumbu pelita,
yang menghanguskan bilik jiwaku sendiri.
Dahulu kuimpikan,
Pijarnya menjadi angan penerang dalam mengarungi runtunan masa.
Risalah Yang Mahakuasa,
perihal bagaimana rasa syukur sepatutnya kurenda.
Walau semangkuk realita yang tersuguh di hadapan,
tak sehangat yang selama ini diharapkan.
Tepat adanya,
jika aku menyebutmu: sepasang sepatu berhias berlian
yang terpampang di etalase itu.
Yang tak jemu aku lukiskan,
tak henti aku curahkan,
tak letih aku titipkan,
melumuri sebaris doa yang khusuk terpanjatkan.
Entah pagi, siang, atau malam.
Tak menggubris kenyataan,
belum menatahkan restu agar kita sanggup melaju beriringan.
Tetapi baiknya kini kulantangkan.
Kendati penantian,
telah mendamparkanku ke pesisir ketidakpastian.
Tetap ku yakini!
Bersamamu kelak,
kulit telapak kaki yang lepuh,
pulih terobati.
Percaya, kau surutkan kegentaran
yang menggenangi diri,
ketika bentangan aspal panas, dan ribuan kerikil tajam,
harus kembali kutapaki.
Sejatinya,
kau merupakan anugerah yang senantiasa kupinta,
teramat ingin aku terima.
Dirimu sepenuhnya ialah seikat berkat pembius luka,
sebait sabda penghunus duka.
Karenamu juga,
damaiku utuh terjaga.
Niscaya, kau adalah seiris karunia,
yang menguatkanku berpacu,
menerjang liku curam dunia.
Hingga usia menua,
mengarak setumpuk memori,
Rabu, 29 Februari
Dua, nol, satu, dua,
awal mula kita bersua.
Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa 29 Maret 2016